Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

PNS di Sulut Salah Satu Mata Rantai ‘Penyebar” HIV/AIDS

14 Juni 2013   10:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:02 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

* 239 Ibu rumah tangga di Sulut mengidap HIV/AIDS

Tanggapan Berita (14/6-2013) – “Walaupun tidak signifikan ternyata Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan salah satu distribusi penyumbang penderita HIV-AIDS di Sulawesi Utara untuk kategori pekerjaan. Dari data yang dupublish Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Sulut PNS berada di urutan ke 11 penyumbang terbesar dengan 23 kasus terhitung hingga Februari 2013.” Ini lead pada berita "PNS Salah Satu Distribusi Penderita HIV-AIDS di Sulut” di beritamanado.com(4/6-2013).

Selain pada PNS kasus HIV/AIDS juga banyak terdeteksi pada karyawan swasta dan wiraswata yaitu 357 yang menempati peringkat pertama jumlah kasus HIV/AIDS di Sulawesi Utara (Sulut).

Kenyataan tsb. merupakan konsekuensi logis dari kondisi keuangan yaitu mempunyai uang yang banyak atau lebih untuk membeli seks karena mereka mempunyai penghasilan tetap.

Jika di satu kota atau daerah tidak ada lokasi atau tempat-tempat pelacuran, maka biaya untuk melacur sangat tinggi karena: (1) Melacur harus dilakukan di penginapan, losmen, hotel melati atau hotel berbintang dengan tarif mulai dari Rp 75.000 – Rp 1.500.000; (2) Tarif short time untuk cewek-cewek yang diajak melacur juga mahal mulai dari Rp 250.000 – Rp 5 juta; (3) Razia yang sering dilakukan polisi dan Pol PP ke penginapan, losmen dan hotel melati sehingga pilihan bagi PNS dan karyawan serta aparat adalah hotel berbintang.

Tiga faktor itu tentu saja hanya ada di tangan PNS, karyawan, dan aparat yang menerima gaji besar dan tetap setiap bulan.

Celakanya, banyak orang yang melacur di luar lokasi pelacuran merasa tidak berisiko tertular HIV/AIDS karena selama ini informasi HIV/AIDS menyebutkan bahwa risiko tertular HIV/AIDS ada di lokasi pelacuran dengan pekerja seks komersial (PSK). PSK di sini disebut PSK langsung.

Hal lain yang mendong penyebaran HIV/AIDS adalah laki-laki melacur dengan PSK tidak langsung, seperti cewek bar, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek pemijat, ABG, anak sekolah, mahasiswi, dan ibu-ibu. Mereka ini tetap saja perilakunya berisiko tinggi tertular HIV karena melayani hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti.

Belakangan terbongkar pula ada cewek gratifikasi seks yang sama sekali bukan PSK langsung. Tapi, cewek ini tetap PSK yaitu PSK tidak langsung dan risiko tertular dan menularkan HIV tetap besar.

Di Kota Manokwari, Papua Barat, misalnya, pelacur asal Pulau Jawa dipaksa melacur di barak-barak di lokasi pelacuran “Maruni 55”, sedangan pelacur asal Manado beroperasi di hotel. Maka, jangan heran kalau kelak kasus HIV/AIDS di Manokwari banyak terdeteksi pada PNS, pejabat, karyawan dan aparat karena merekalah yang bisa membayar pelacur di hotel-hotel tsb. (Lihat: ‘Praktek’ Pekerja Seks Komersial (PSK) di Manokwari, Papua Barat, ‘Dikapling’- http://www.aidsindonesia.com/2012/10/praktek-pekerja-seks-komersial-psk.html).

Dengan jumlah 239 kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga juga membuktikan bahwa banyak suami yang melacur baik dengan PSK langsung maupun PSK tidak langsung. Ini artinya ada 239 suami yang mengidap HIV/AIDS dan ada pula 239 bayi yang berisiko tertular HIV jika mereka dilahirkan oleh 239 ibu yang mengidap HIVAIDS.

Yang luput dari perhatian Pemprov Sulut adalah 90 kasus HIV/AIDS pada PSK. Jika satu malam seorang PSK melayani 3 laki-laki, maka ada 270 laki-laki yang berisiko tertular HIV. Angka ini tentu akan bertambah banyak jika 90 PSK itu masih ’praktek’ di Sulut. Angka juga akan bertambah jika ada PSK yang tidak terdeteksi tapi ’praktek’.

Di sisi lain 90 ada laki-laki di Sulut yang mengidap HIV/AIDS yaitu yang menularkan HIV kepada 90 PSK tsb. Jika mereka mempunyai istri, maka ada 90 istri yang berisiko tertular HIV. Jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV akan bertambah banyak jika ada di antara 90 laki-laki itu yang mempunyai istri lebih dari satu serta yang punya selingkuhan.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulut Dr Maxi Rondonuwu, DHSM, melalui Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Sulawesi Utara dr Tangel Kairupan faktor risiko (media penularan) HIV/AIDS adalah melalui hubungan seksual pada heteroseksual (laki-laki ke perempuan dan sebaliknya) disusul penularan melalui jarum suntik pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya).

Pertanyaan untuk dr Kairupan adalah: Apakah bisa dibuktikan bahwa HIV/AIDS pada penyalahguna narkoba memang tertular melalui jarum suntik?

Soalnya, ada di antara mereka yang melakukan seksual berisiko tertular HIV sebelum dan selama menyalahgunakan narkoba.

Bertolak dari penyebaran HIV/AIDS di Sulut, maka diperlukan program yang konkret dan sistematis untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.

Celakanya, dr Kairupan akan bersuara lantang: Tidak ada pelacuran di Sulut!

Ya, itu benar. Tapi, yang dimaksud tidak ada adalah pelacuran yang dilokalisir melalui regulasi yang ditangani pemerintah.

Sedangkan praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga tidak akan ada program sistematis yang bisa dijalankan karena praktek pelacuran tidak bisa dijangkau.

Selama Pemprov Sulut tidak mempunyai program yang konkret berupa intervensi yang memaksa laki-laki memakai kondom jika melacur, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Sulut.

Pemprov Sulut tinggal menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

[Sumber: http://www.aidsindonesia.com/2013/06/pns-di-sulut-salah-satu-mata-rantai.html]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun