Karena sudah kebiasaan, antara pukul 01.00 dan 03.00 saya terbangun. Malam itu pun, suatu hari di tahun 1982 di Kota “B” di Jabar, tiba-tiba saya terbangun pukul 01.30.
“Astaga, kok ada monyet!”
Itulah yang ada di pikiran saya ketika duduk karena di sebelah saya ada monyet yang telentang. Saya mengedipkan mata, tapi tiba-tiba monyet tadi tidak ada (lagi).
Yang ada di sebelah saya, ya, kerabat yang tidur bersama saya.
Kejadian itu tidak menjadi pikiran bagi saya. Hari-hari berjalan saya tidak pernah memikirkan kejadian itu.
Tapi, ketika saya ‘berobat’ ke beberapa ‘orang pintar’ ke Banten, Tasikmalaya dan Banjar (dua-duanya di Jabar), peristiwa yang saya alami tahun 1982 itu mulai terkuak.
Saya sendiri menjadi korban santet sebagai tumbal untuk pesugihan salah seorang kerabat.
Dalam perjanjian yang memelihara ‘buto ijo’ untuk pesugihan (mencari kekayaan dengan menggunakan makhluk halus) itu anak saya, putri, masuk daftar nomor 9 dan saya nomor 10.
Alhamdulillah, berkat doa orang-orang yang mengobati saya YMK menghindarkan saya dan putri saya dari ‘daftar’ tumbal. ‘Gantinya’ yang memelihara pesugihan dan kakaknya mati berurutan. Celakanya, pesugihan itu pun estafet ke anaknya sehingga saya terus-menerus menghadapi serangan santet sampai sekarang.
Tujuannya tidak lagi untuk tumbal, tapi sebagai bagian dari balas dendam. Keluarga yang memelihara pesugihan itu sendiri memberikan daftar 17 nama sebagai tumbal. Sekarang sudah 10 tumbal yang mereka ‘persembahkan’ ke buto ijo. Agar pesugihan itu langgeng, maka mereka terus-menerus mencari tujuh tumbal lagi.
Kembali ke monyet tadi, “Itu merupakan wujud dari salah satu bentuk pesugihan,” kata Misbah, salah satu yang mengobati saya di Banten.