“Selamat pagi, Pak. Saya Ibu Sri (bukan nama sebenarnya).”
Itulah suara yang saya terima di ponsel.
Suara itu gemetar. Belakangan baru saya ketahui bahwa ketika menelepon saya Bu Sri menangis dan menahan sakit karena perutnya membesar.
“Ada apa, Bu Sri?”
“Begini, Pak. Saya membaca pengalaman Bapak tentang santet. Itu juga yang terjadi pada saya. Apakah Bapak mau membawa saya ke Bu Haji dan Pak Misbah?”
Rupanya, Bu Sri sudah putus asa karena sudah lima tahun dia berobat ke berbagai tempat sampai ke Pati di Jateng dan Banyuwangi di Jatim.
“Semuanya tidak berhasil.”
Bahkan, Bu Sri sudah habis-habisan karena setiap “berobat” ada mahar (istilah di pengobatan alternatif untuk menyebut biaya) yang jumlahnya jutaan sampai belasan juta rupiah.
Di akhir percakapan saya berjanji akan memba Bu Sri ke Banten setelah tahun baru.
Tanggal 1 Januari 2014. “Saya suami Bu Sri.” Ini suara di ponsel.
“Ada apa, Pak?”
“Pak Syaiful, saya mohon hari ini saja kita ke Banten. Ini darurat, Pak.”
Kami pun berjanji ketemu di halte UKI Cawang. Itu pukul 10.00.
Tujuan kami ke Pak Misbah di Cilegon, Banten. Alhamdulillah Pak Misbah ada di rumah.
Bu Sri sendiri kelihatan pucat dan capek. Rupanya, sehari sebelumnya mereka berobat ke Purwakarta, Jabar.
“Ya, cara pengobatan itu dengan magic,” kata Pak Misbah.
Bu Sri dan suaminya berobat ke Purwakarta karena perut Bu Sri membesar. “Itu bisa meledak kalau tidak ditangani,” ujar Pak Misbah.
Setelah Pak Misbah menerawang Bu Sri dan rumah mereka di sebuah kota di Bodetabek, barulah ketahuan di rumah masih ada dua “tanaman” dan di tubuh Bu Sri ada 12 jarum.
Memang, sudah banyak dukun dan orang pintar yang menarik “tanaman” dari rumah Bu Sri, tapi yang dua itu tidak bisa mereka temukan.
“Sebelum dua tanaman itu diangkat, percuma menarik benda di tubuh Ibu,” kata Pak Misbah.
“Pak Misbah sekarang kita ke rumah saya. Bapak tinggal duduk manis di mobil kita antar pulang nanti,” pinta Bu Sri.
Sayang, Pak Misbah tidak mempunyai persediaan “alat”, yaitu minya gentur bumi (minyak ini hasil sulingan sejenis kayu yang hanya ada di Turki) sehingga tidak bisa menerima tawaran Bu Sri.
Akhirnya disepakati Pak Misbah ke rumah Bu Sri hari berikutnya sesuai kesepakatan.
Ketika di rumah Pak Misbah disepakati Pak Misbah akan datang sendiri. Tapi, belakangan saya ingat bahwa ada lima kali Pak Misbah tidak sampai ke rumah saya dengan berbagai kejadian: ban mobil lepas, kecopetan, dibius, dll.
Saya memberikan saran ke suami Bu Sri agar Pak Misbah dijemput saja. Akhrinya, suami Bu Sri setuju dan mereka menjemput Pak Misbah pada hari yang sudah ditentukan.
“Pak Syaiful, terima kasih. Ini saya mau antar pulang Pak Misbah,” kata suami Bu Sri melalaui ponsel.
Salah satu “tanaman” yang diangkat Pak Misbah berisi tiga lembar uang Rp 5.000, satu lembar uang Rp 10.000. Itu bermakna keluarga Bu Sri akan hancur sehingga hanya punya uang sebanyak yang ditemukan.
Benda-benda yang di badan Bu Sri baru tiga yang bisa ditarik Pak Misbah. Sisanya disepakati akan ditarik di rumah Pak Misbah hari yang disepakati.
Bertolak dari pengalaman Bu Sri ini perlu diperhatikan kalau berobat dengan keluhan santet, maka hindari berhubungan dengan orang yang menetapkan “mahar” tapi tidak jelas apa yang akan dibeli. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H