Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Epilepsi Tidak Menular dan Bukan Penyakit Turunan

25 Maret 2015   10:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:04 2054
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14272545621152868454

Repro: intisari-online.com

Mitos (anggapan yang salah) dan stigma (cap buruk) terkait dengan epilepsi (di Indonesia dikenal sebagai ayan atau sawan, antara lain ditandai dengan kejang-kejang) merupakan dua faktor yang menghambat pengobatan dan penyembuhan penderita epilepsi di Indonesia.

Banyak orang yang menganggap bahwa epilepsi adalah penyakit yang menular. Sebagian lagi mengatakan epilepsi sebagai penyakit yang terkait dengan kutukan, kemasukan roh jahat, kesurupan, kena guna-guna, dll.

Padahal, “Epilepsi bukan penyakit menular dan bukan penyakit turunan,” kata Dr Mursyid Bustami, Sp.S (K), KIC, Direktur Utama Rumah Sakit (RS) Pusat Otak Nasional di Jakarta Timur. Bahkan, sampai sekarang belum diketahui dengan pasti penyebab epilepsi. Hanya sebagai gambaran,  penyakit epilepsi itu ibarat ada petir di otak sehingga mengganggu fungsi otak.

Tapi, karena mitos dan stigma sudah beredar luas di masyarakat, maka tidak sedikit pula keluarga yang “menyembunyikan” anggota keluarganya yang terindikasi mengidap epilepsi. Langkah ini tentu saja tidak benar karena akan membuat penderita epilepsi tidak memperoleh penanganan medis yang akhirnya menambah penderitaan berupa kesakitan akibat epilepsi.

Epilepsi merupakan salah satu masalah yang terkait kesehatan otak yang pelik di Indonesia karena keterbatasan penjangkuan terhadap penduduk yang menderita epilepsi. Pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) yang diharapkan menjadi ujung tombak promosi kesehatan (promotif) untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mencegah penyakit (preventif). Tapi, yang terjadi sekarang justru lebih banyak menangani pasien yang berobat (kuratif).

Persoalan epilepsi kian rumit karena belakangan ini kasus epilepsi justru lebih banyak pada masyarakat pedesaan. Itu artinya puskesmaslah yang diharapkan bisa menjangkau penduduk yang menderita epilepsi.  Tapi, karena puskesmas sudah berubah fungsi menjadi ‘rumah sakit’, maka deteksi epilepsi di Indonesia pun tidak berjalan yang pada akhirnya membuat penanganan dini terhadap penderita epilepsi pun terhambat.

Memang, tidak ada data yang pasti tentang jumlah penderita epilepsi di Indonesia. WHO menyebutkan bahwa dari banyak studi tentang epilepsi, data menunjukkan rata-rata prevalensi epilepsi aktif 8,2 per 1.000 penduduk, sedangkan angka insidens mencapai 50 per 100.000 penduduk (ina-epsy.org).

Di Indonesia, diperkirakan ada sekitar 1,3-1,6 juta penderita epilepsi (indonesiarayanews.com, 20/3-2013). Jumlah ini disebutkan tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya karena banyak keluarga yang tidak mau membawa anaknya yang menderita epilepsi ke puskesmas atau rumah sakit untuk berobat. Ini terjadi antara lain karena stigma yang dilekatkan pada penderita epilepsi.

Padahal, “Epilepsi bisa ditangani secara medis agar penderita tetap bisa hidup normal,” ujar dr Mursyid mengingatkan masyarakat. Dengan pemberitan obat-obat yang rutin akan membuat sebagian penderita epilepsi sembuh. Memang, ada juga yang tidak bisa sembuh. Tapi, dengan pengobatan yang ditangani dokter, penderita epilepsi bisa menjalani hidup secara alamiah.

Dengan pengobatan yang tepat serta dukungan dokter,  penderita epilepsi bisa berolahraga, bahkan berenang. Untuk itulah dr Mursyid mengharapkan agar masyarakat tidak lagi melihat epilepsi sebagai penyakit yang menular dan turunan.

Agar cepat mendapat pertolongan, sebaiknya penderita epilepsi dilengkapi dengan gelang atau kalung yang menyebutkan penyakit yang mereka derita.

Epilepsi menjadi bagian dari ruang lingkup atau cakupan RS Pusat Otak Nasional. Selain epilepsi, cakupan rumah sakit ini adalah stroke, infeksi otak, trauma kepala atau cedera kepala, dan syaraf. Sebagai pusat rujukan nasional, rumah sakit ini pun menerima pasien BPJS. *** [Syaiful W. Harahap] ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun