Fitnah macam apa, Bu Haji?
Bu Haji takut kalau nanti orang tsb. mengatakan bahwa dia memberikan sejumlah uang. Padahal, tidak ada tarif. Bahkan, saya sering hanya mengucapkan terima kasih. Bukan hanya itu sebelum pulang Bu Haji minta agar makan dulu.
“Ah, mana mungkin.” Itulah yang dikakatan seorang ibu muda di bus ketika saya hendak ke Bu Haji tentang Bu Haji yang tidak mematok bayaran.
Karena penasaran belakanga ibu muda tadi pergi juga ke Bu Haji. Rupanya, ketika itu dia pun hendak berobat ke orang pintar, juga di Banten, tapi dengan tarif tertentu. Yang tidak masuk akal ibu muda tadi adalah orang pintar yang mengobati dia justru berobat ke Bu Haji dan mereka bertemu di rumah Bu Haji.
Bu Haji memegang pisang ambon yang saya bawa dan meletakkannya di belakang telinga kiri saya.
“Kraakkk ….”
Kulit terasa disayat. Di pisang ambon ada benda hitam lebih besar dari kelereng. Benda itu adalah kemenyan. Satu lagi ada di bahu kanan yaitu kemenyan putih.
Kemenyan itulah yang membut keringat saya bau.
Sesuai dengan saran Bu Haji saya ke dokter di bilangan Pisangan Timur karena bekas keluar benda masih nyeri dan berdarah. Dari Banten sudah saya tempel dengan plester obat.
”Ini kena apa, Pak?” Tanya Bu Dokter.
Tentu saja saya tidak mungkin mengatakan itu tersangkut atau karena benda-benda tajam atau dicakar macan.