Tanggapan Berita (24/5-2013) – “Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Riau menyatakan ratusan pelaku usaha di daerah itu terdaftar sebagai Orang dengan HIV dan AIDS (Odha) selain juga ada kalangan ibu rumah tangga serta ragam kalangan lainnya.” Ini lead pada berita “Ratusan Pengusaha Riau Terjangkit HIV/AIDS” di republika.co.id (23/5-2013)
Disebutkan bahwa kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov Riau tercatat 1.892 yang terdiri atas 1.030 HIV dan 862 AIDS.
Masa AIDS adalah suatu kondisi ketika seseorang yang tertular HIV sudah menunjukkan gejala-gejala terkait AIDS, seperti ruam, jamur di mulut, diare, TBC, dll. Masa AIDS terjadi secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV (Lihat Gambar).
Selain itu kasus HIV yang terdeteksi pada AIDS atau pengidap HIV yang sekarang ada pada masa AIDS bisa jadi tertular di tahun 1990-an. Gejala AIDS pada mereka terdeteksi di tahun 2000-an (Gambar 1).
Memulangkan PSK AIDS
Celakanya, ada mitos (anggapan yang salah) yang berkembang di Indonesia yaitu risiko tertular HIV melalui hubungan seksual hanya terjadi jika hubungan seksual dilakukan dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokasi atau lokalisasi pelacuran. PSK ini dikenal sebagai PSK langsung.
Akibatnya, banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang memilih ‘cewek’ (baca: PSK tidak langsung) di luar lokasi pelacuran, seperti cewek pub, cewek kafe, cewek disko, cewek karaoke, mahasiswi, cewek ABG, atau ‘ibu-ibu rumah tangga’. Belakangan dikenal pula cewek berupa gratifikasi seks.
Bahkan, PSK langsung di beberapa lokasi pelacuran risiko mereka tertular HIV lebih kecil karena ada penjangkauan dari LSM untuk sosialisasi kondom sehingga ada PSK yang hanya mau melayani laki-laki kalau pakai kondom.
Di tahun 1990-an Pemerintah Daerah Riau, termasuk Kepulauan Riau sekarang, memulangkan PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS ke kampung halamannya, al. ke Kab Karawang, Jawa Barat (Lihat: Duka Derita Seorang Perempuan Pengidap HIV/AIDS di Karawang, Jawa Barat-http://www.aidsindonesia.com/2012/10/duka-derita-seorang-perempuan-pengidap.html dan Keluarga Pengidap HIV/AIDS di Karawang Dicerai-beraikan Media Massa*-http://www.aidsindonesia.com/2012/10/keluarga-pengidap-hivaids-di-karawang.html).
Dalam pikiran penguasa Riau ketika itu langkah tsb. merupakan cara untuk ‘membasmi’ HIV/AIDS dari Riau. Tapi, ada fakta yang luput dari perhatian, yaitu:
Pertama, ada kemungkinan PSK yang terdeteksi HIV itu tertular dari laki-laki penduduk Riau. Ini artinya laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK itu, bisa sebagai suami, menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di Riau, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Kedua, ada kemungkinan PSK yang terdeteksi HIV itu tertular HIV di luar Riau. Ini artinya laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom denganPSK tsb., bisa sebagai suami, berisiko tertular HIV. Laki-lak ini pun menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di Riau, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Maka, laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal. Bukti penyebaran al. bisa dilihat dari kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga dan bayi.
Ratusan pelaku usaha pengidap HIV/AIDS tsb. menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di Prov Riau, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Ratusan pelaku usaha itu tertular HIV dari PSK langsung atau PSK tidak langsung di Riau atau di luar Riau. Lalu mereka pun akan menualarkan HIV ke PSK dan istri. Selanjutnya, PSK yang tertular HIV dari ratusan pelaku usaha itu pun akan menualarkan HIV kepada puluhan ribu laki-laki yang mereka layani tanpa kondom (Gambar 2).
“ ,… penderita setiap tahunnya terus mengalami peningkatan, namun hanya sebagian kecil dari mereka yang bersedia untuk menjalani pengobatan di rumah sakit pemerintah.” Ini pernyataan Sekretaris KPA Riau dr Mursal Amir.
Sebagai sekretaris KPA tentulah dr Mursal memahami cara pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia yaitu secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru sehingga angka kasus yang dilaporkan tidak akan pernah berkurang atau turun biar pun banyak pengidap HIV/AIDS yang meninggal.
Stigma dan Diskriminasi
Yang jadi persoalan besar adalah insiden infeksi HIV baru yang terus terjadi karena Pemprov Riau tidak menjalankan program yang konkret dan sistematis untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK langsung. Dalam Perda AIDS Prov Riau pun tidak ada cara yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS (Lihat: Perda AIDS Provinsi Riau-http://www.aidsindonesia.com/2012/10/perda-aids-provinsi-riau.html).
Program penanggulangan berupa menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui pelacuran tidak bisa dijalankan karena praktek pelacuran di Riau tidak dilokalisir sehingga tidak bisa dilakukan penjangkauan (Gambar 3).
Intervensi lain adalah keharusan memakai kondom bagi suami yang melacur tanpa kondom jika sanggama dengan istrinya. Tapi, hal ini mustahil dilakukan.
Selanjutnya adalah program yang realistis adalah pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Persoalannya adalah Pemprov Riau tidak mempunyai program yang sistematis untuk mendeteksi HIV pada perempuan hamil.
Disebutkan bahwa ” .... hanya sebagian kecil dari mereka (pengidap HIV/AIDS-pen.) yang bersedia untuk menjalani pengobatan di rumah sakit pemerintah.”Tentu patut dipertanyakan mengapa hal itu terjadi. Bisa jadi di rumah sakit pemerintah identitas mereka tidak dijamin sehingga dipublikasikan melalui media massa.
Seperti diketahui Odha akan menerima stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) di masyarakat jika identitas mereka disebarluaskan.
Disebutkan pula oleh dr Murslah: "Namun laporan itu tidak seutuhnya benar dan akurat (data kasus-pen.) karena masih minimnya kesadaran Odha untuk melaporkan kasus yang dialaminya ke KPA atau Dinas Kesehatan.”
Pernyataan ini tidak akurat karena orang-orang yang terdeteksi HIV melalui tes HIV di klinik VCT otomatis akan terdaftar di dinas kesehatan, sedangkan KPA mendapatkan laporan kasus dari dinas kesehatan.
Menurut dr Mursal, untuk mengantisipasi penyebaran virus mematikan jenis HIV dibutuhkan dukungan dari seluruh pihak dan ragam kalangan. "Khususnya pihak keluarga atau orang tua agar terus mengawasi pergaulan anak-anaknya jangan sampai terjerumus dalam pergaulan bebas yang akhirnya melakukan hubungan seks diluar nikah hingga penggunaan narkoba."
HIV bukan virus yang mematikan karena kematian pada Odha terjadi di masa AIDS bukan karena HIV atau AIDS, tapi karena penyakit-penyakit lain, disebut infeksi oportunistik, seperti diare dan TBC.
Penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama.
Yang mendesak dilakukan Pemprov Riau adalah menjalankan program yang konkret berupa intervensi: pemakaian kondom pada laki-laki yang melacur, dan pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandung dengan program pendeteksian HIV/AIDS pada perempuan hamil yang sistmatis.
Jika Pemprov Riau tidak menjalankan program yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di Riau akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’.***
- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap
[Sumber: http://www.aidsindonesia.com/2013/05/ratusan-pelaku-usaha-sebagai-penular.html]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H