Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

ITN Malang Menjalankan ”Plonco” dengan Ideologi Militer

19 Desember 2013   14:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:44 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maut kembali merenggut nyawa mahasiswa baru (Maba) dalam kegiatan Ospek (Orentasi dan Pengenalan Kampus).

Kali ini Fikri Dolasmanya Surya, mahasiswa ITN (Institut Teknologi Nasional), Malang, Jatim, dalam acara yang disebut sebagai Kemah Bakti Desa (KBD) kawasan Goa Cina, Sumbermanjing Wetan, Kab Malang (12/10-2013), menghembuskan napas terakhir di ajang plonco itu.

Biar pun tujuan Ospek didengung-dengungkan sebagai kegiatan yang baik, tapi dalam prakteknya di banyak Ospek justru berubah wujud jadi plonco (acara pengenalan kampus dengan cara-cara kekerasan).

Celakanya, tata cara yang dilakukan mahasiswa senior ITN dalam ’menggembleng’ Maba justru memakai ideologi militer. Hal ini terungkap dari pernyataan salah seorang panitia, perempuan, di sebuah berita di salah satu stasiun televisi nasional.

Tanpa ekspresi bersalah dan menyesal mahasiswi berambut panajang itu mengatakan dengan lantang mereka menghukum Maba peserta Ospek dengan cara-cara militer, seperti push-up, merangkak, dll.

Nah, ini dia biang keladi kematian Fikri.

Memakai cara-cara militer di luar militer merupakan langkah yang konyol, karena “Memakai ideologi militer di luar institusi militer akan berdampak sangat buruk.” Ini dikatakan oleh Bang Hotman (Prof Dr Hotman M. Siahaan, sosiolog di Unair, Surabaya) dalam berbagai kesempatan kepada penulis di workshop wartawan di LP3Y Yogyakarta.

Artinya, penggunaan ideologi militer di luar militer bisa berakibat fatal, al. kematian, karena institusi di luar militer yang memakai ideologi militer tidak mempunyai kode etik untuk menghindari risiko yang fatal.

Misalnya, calon anggota militer menjalani pemeriksaan kesehatan menyeleruuh (check-up), tes fisik dan tes nonfisik sebelum latihan. Hukuman dalam latihan pun diatus berdasarkan ketentuan yang sudah diuji sehingga hukuman itu tidak akan menyebabkan cacat dan kematian pada peserta pelatihan.

Maka, tidaklah mengherankan kalau dalam latihan perang dengan memakai peluru tajam sekali pun tidak (akan) ada korban. Dalam berbagai latihan perang korban justru jatuh karena hal lain, misalnya, kerusakan peralatan, payung tidak mengembang, dll. bukan karena hukuman fisik.

Terkait dengan ‘plonco’ di ITN Malang, maka polisi harus menyidik panitia apakah ada persyaratan yang ditetapkan bagi Maba untuk mengikuti kegiatan tsb., misalnya:

(1) Apakah semua Maba yang mengikuti plonco itu sudah menjalani tes fisik terkait dengan kegiatan yang akan dilakukan?

(2) Apakah semua Maba yang mengikuti plonco itu sudah menjalani tes nonfisik fisik terkait dengan kegiatan yang akan dilakukan?

(3) Apakah semua Maba yang mengikuti plonco itu sudah memegang surat keterangan berbadan sehat, terutama terkait dengan penyakit-penyakit khusus, seperti penyakit jantung, diabetes, hepatitis B, dll., dari dokter yang berkompeten?

Jika panitia tidak menerapkan tiga hal di atas, maka mereka sudah melakukan perbuatan melawan hukum karena melakukan kegiatan fisik dan nonfisik terhadap Maba melalui kegaitan yang tidak terukur sesuai dengan tiga faktor di atas.

Pemakai pakaian seragam pun, menurut Bang Hotman, ada kecenderungan mengidentifikasikan diri sebagai ‘militer’.

Seragam bisa dijadikan identitas khas untuk sebuah kelompok di dalam masyarakat.

Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian ormas-ormas berseragam, bahkan pelajar, sering melakukan tindakan anarkis karena mereka menganggap dirinya melebihi orang lain yang tidak memakai atribut yang sepadan dengan ideologi militer.

Hal yang sama rupanya terjadi pada panitia Ospek ITN Malang. Mereka memakai senioritas dan kepanitian sebagai ideologi militer untuk menghukum Maba. Fikri rupanya jadi ’tumbal’ dari 113 Maba dengan kematian yang sia-sia.

Karena panitian Ospek ITN Malang itu memakai ideologi militer dalam menghukum Maba yang mereka vonis bersalah, maka akibatnya pun fatal. Kematian.

Itu terjadi karena tidak ada SOP yang baku pada pemakaian ideologi militer di Ospek ITN Malang seperti halnya pada latihan perang militer.

Hukuman yang diterapkan panitia Ospek ITN Malang pun dilakukan berdasarkan keangkuhan dan kesombongan sebagai senior.

Jika militer menetapkan push-up 15 kali, misalnya, maka pantia Ospek ITN menghukum dengan sesuka hatinya. Akibatnya, hukuman pun merenggut nyawa Maba.

Kegiatan Ospek ITN Malang itu bukan bagian yang integral dengan pendidikan (tinggi), maka panitia yang menyebabkan kematian Fikri wajib diseret ke meja hijau.

Soalnya, membunuh dengan tidak sengaja pun, seperti kecelakaan lalu lintas, diganjar pidana penjara. Nah, ini kematian Fikri karena disengaja.***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun