Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menekan Penularan HIV/AIDS dengan Program yang Tidak Konkret

1 Agustus 2012   23:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:20 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan Kementerian Kesehatan untuk menekan angka penularan HIV/AIDS di Indonesia. Pencegahan penularan HIV/AIDS adalah salah satu agenda prioritas Indonesia.” Ini lead berita “Presiden: Tekan Penularan HIV/AIDS”(kompas.com, 1/8-2012).

Presiden boleh-boleh saja mengeluarkan instruksi, tapi sepanjang sejarah epidemi HIV/AIDS di Indonesia yang dipatok pemerintah sejak 1987 tidak ada langkah yang konkret untuk menanggulangi insiden infeksi HIV baru di hulu.

Berbagai program yang ada, termasuk dalam 55 peraturan daerah (perda) tentang penanggulangan HIV/AIDS yang ada di Indonesia (mulai dari provinsi, kabupaten sampai kota), hanya menyasar di hilir. Selain itu program pun menginjakkan kaki pada ranah moral untuk menghadapi HIV/AIDS di yang ada di ranah fakta medis.

Mata rantai penyabaran HIV, terutama melalui hubungan seksual, berhulu pada insiden infeksi HIV (baru) pada laki-laki ‘hidung belang’ yang tertular melalui hubungan seksual tanpa kondom, al. dengan pekerja seks komersial (PSK) dalam berbagai bentuk dan di sembarang tempat.

Celakanya, banyak daerah yang mengabaikan (praktek) pelacuran karena di daerah tsb. tidak ada lokalisasi pelacuran. Selain itu ada pula daerah yang membusungkan dada dengan mengatakan tidak ada pelacuran di daerahnya karena ada perda anti maksiat atau perda anti pelacuran.

Di beberapa daerah yang ada lokalisasi pelacuran pun tidak ada program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki ‘hidung belang’ melalui hubungan seksual dengan PSK.

Kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah tangga menunjukkan suami mereka tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan, al. dengan PSK, atau dengan laki-laki pada kegiatan LSL yaitu laki-laki suka seks laki-laki (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/19/fenomena-laki-laki-suka-seks-laki-laki-dalam-epidemi-aids/).

Seusai menggelar rapat koordinasi di Kementerian Kesehatan, Jakarta, Presiden SBY mengatakan: "Ini soal serius. Kita harus menurunkannya agar tidak meluas."

Serius atau tidak serius tanggapan pemerintah bisa dilihat dari langkah-langkah penanggulangan. Jika disimak dari 55 perda AIDS, maka jelaslah sudah tidak ada program yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS.

Laporan Kemenkes tentang kasus kumulatif HIV/AIDS sampa 31 Maret 2012 menunjukkan jumlah kasus mencapai 113.300 yang terdiri atas HIV 82870 dan AIDS 30430 dengan kematian 5.469.

Tapi, perlu diingat angka itu hanya yang dilaporkan dan juga merupakan bagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat karena di Indonesia tidak ada cara yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat.

Menurut Kepala Negara, upaya pencegahan ini tak mesti bergantung pada kerja sama global. Pemerintah akan mengalokasikan anggaran sesuai kemampuan negara untuk program ini.

Penanggulangan HIV/AIDS merupakan bagian dari kerja sama global sehingga tidak bisa berdiri sendiri. Biar pun pemerintah mengalokasikan dana yang cukup tetap saja dibutuhkan kerja sama global karena menyangkut banyak aspek kehidupan global.

Dikabarkan setiap tahun biaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia mencapai 60 juta dolar AS atau sekitar Rp 540 miliar. Dari jumlah itu 60 persen adalah bantuan luar negeri. Pada tahun 2006 dana penanggulangan yang bersumber dari dalam negeri baru mencapai 26 persen dan sekarang 40 persen. Celakanya, dana dalam negeri ini hanya cukup untuk membeli obat antriretroviral (ARV), yaitu obat untuk menekan laju perkembangan HIV di dalam tubuh Odha (Orang dengan HIV/AIDS).

Untuk itulah Presiden menginstruksikan agar Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi dan jajarannya menyusun rencana menekan penularan HIV/AIDS. Upaya ini juga perlu melibatkan kepala daerah.

Salah satu langkah menekan laju penyebaran HIV/AIDS yang konkret adalah menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK, al. dengan program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki ‘hidung belang’. Program ini hanya bisa dilakukan jika PSK dilokalisir sehingga regulasi akan bisa menjerat germo dengan sanksi hukum.

Tapi, langkah itu akan terbentur karena Indonesia menganut paham yang menentang lokalisasi pelacuran. Maka, praktek pelacuran pun terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga program penanggulangan tidak bisa dijalankan secara efektif.

Selain itu Indonesia juga menentang penggunaan kondom dalam penanggulangan HIV/AIDS. Bahkan, orang pertama yang menentag kondom adalah dari jajaran departemen kesehatan yang sekarang disebut kementerian kesehatan di awal epidemi HIV/AIDS.

Disebutkan dalam berita: “ …. penularan HIV melalui hubungan seksual naik signifikan, 30 persen dari sekitar 180.000 orang dengan HIV/AIDS. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kesadaran masyarakat menggunakan kondom sehingga penularan terus terjadi.”

Ini tidak akurat karena tidak semua orang berisiko tertular HIV melalui hubungan seksual sehingga yang kesadarannya rendah memakai kondom adalah laki-laki ‘hidung belang’ yang melacur atau berzina tanpa kondom dengan PSK langsung (PSK di lokasi pelacuran, jalanan, dll.) atau dengan PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.) serta perempuan pelaku kawin cerai.

Jika program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki ’hidung belang’ pada hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung tidak diterapkan, maka penyebaran HIV/AIDS melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, akan terus terjadi.

Kalau bantuan asing sama sekali tidak ada, maka pendanaan dalam negeri tidak akan bisa menyediakan dana yang cukup untuk penanggulangan yang komprehensif, yaitu mulai dari pencegahan sampai pengobatan. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun