Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kondom untuk Menurunkan Insiden Infeksi HIV Baru di Bintan Utara, Kepulauan Riau

13 Juli 2012   08:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:00 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1342168814661464348

* Diperlukan mekanisme yang konkret untuk memantau pemakaian kondom

Langkah konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki ‘hidung belang’ yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran Bukit Senyum (BS) Tanjunguban, Bintan Utara, Kab Bintan, Kep Riau, merupakan lompatan besar untuk menanggulangi HIV/AIDS (Mucikari Sepakat Wajib Kondom, www.batampos.co.id, 2/7-2012).

Dikabarkan 21 germo atau mucikari di lokalisasi Bukit Senyum (BS) Tanjunguban, dengan kawasan industri yang terletak di P Bintan di sebelah timur P Batam yang merupakan akses pelabuhan ke P Batam dan Singapura, menandatangani perjanjian tentang pemakaian kondom bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK.

KPA Kab Tangerang sudah membuat kesepakatan antara musyawarah pimpinan kecamatan (muspika) Kec Kosambi dengan masyarakat lokal di lingkungan lokasi pelacuran untuk mendorong pemakaian kondom pada laki-laki ’hidung belang’ yang melakukan hubungan seksual dengan PSK pada bulan April 2012 (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2012/07/13/aids-di-banten-pemuda-berperan-menekan-penyebaran-hivaids/).

Menurut Camat Bintan Utara, Dahlia Zulfah: ”Wajib hukumnya bagi pelanggan yang ingin berhubungan seks mengenakan kondom.”

Ada dua kemungkinan penyebaran HIV/AIDS terkait dengan laki-laki ’hidung belang’ dan PSK, yaitu:

(a) Kemungkinan pertama: yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki lokal. Kalau ini yang terjadi maka di masyarakat sudah ada laki-laki, bisa sebagai suami, yang mengidap HIV/AIDS.

(b) Kemungkinan kedua: PSK yang ’beroperasi’ di BS sudah mengidap HIV/AIDS ketika tiba di sana. Jika ini yang terjadi, maka laki-laki lokal yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK berisiko tinggi tertular HIV.

Laki-laki lokal yang menularkan HIV kepada PSK dan yang tertularHIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Celakanya, Pemprov Kepulauan Riau sendiri tidak mempunyai program yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS. Perda AIDS Prov Kep Riau pun sama sekali tidak memberikan langkah yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS (Lihat; http://regional.kompasiana.com/2012/01/30/menyibak-penyebaran-hivaids-di-prov-kepulauan-riau/).

Sayang, dalam berita tidak dijelaskan sanksi bagi germo atau mucikari dan cara untuk memantau pemakaian kondom.

Soalnya, posisi tawar PSK terhadap laki-laki ’hidung belang’ sangat rendah karena terkait dengan uang.

Pertama, germo memerlukan uang sehingga germo akan memaksa PSK meladeni laki-laki ’hidung belang’ yang tidak mau memakai kondom.

Maka, sanksi jika ada laki-laki ’hidung belang’ yang tidak memakai kondom ketika melakukan bubungan seksual dengan PSK bukan dibebankan pada PSK, tapi kepada germo.

Seperti yang dilakukan oleh KPA Kab Mimika, Papua, PSK yang didenda antara Rp 3,5 – Rp 5 juta. Karena tidak mempunyai urang PSK meminjam kepada germo, maka germo pun tetap mempekerjakan PSK yang mengidap IMS tadi untuk membayar hutangnya (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2012/04/30/di-timika-papua-pekerja-seks-tertular-penyakit-didenda-rp-35-juta/).

Kedua, laki-laki ’hidung belang’ akan mencari PSK yang mau meladeninya tanpa kondom.

Seperti dikatakan oleh Mami, salah seorang mucikari di BS: ” ... tidak sedikit juga pelanggan yang menolak mengenakan kondom dengan berbagai alasan.”

Maka, yang perlu dilakukan adalah sanksi bagi germo jika ada ’anak buahnya’ yang terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.). Sanksi bisa berupa teguran, denda sampai pencabutan izin usaha.

Nah, untuk memantau pemakaian kondom dilakukan survailans tes IMS secara rutin. Misalnya, setiap minggu. Kalau ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS, maka germo ditindak sesuai dengan perjanjian yang yang ditetapkan oleh pemerintah lokal.

Menurut Dahlia, anjuran penggunaan kondom dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit seks menular yang berpotensi dapat menimbulkan kematian, seperti AIDS.

Dahlia benar, tapi harus ada mekanisme pemantauan yang konkret bukan hanya berdasarkan distribusi kondom atau jumlah kondom bekas. Bisa saja kondom diremas-remas atau digesek-gesekkan ke vagina sehingga kelihatan sudah dipakai.

Makanisme yang konkret untuk memantau pemakaian kondom pada laki-laki ’hidung belang’ adalah dengan cara melakukan survailans tes IMS rutin terhadap PSK.

Cara itulah yang dilakukan Thailand melalui program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Melalui program itu Thailand berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa. Jika program di Bintan itu bisa berjalan dengan baik, maka kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga pun akan berkurang. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun