“ …. Kabupaten Belu (Prov Nusa Tenggara Timur/NTT-pen.) merupakan transit menuju Timor Leste, sehingga menjadi alasan kuat masuknya HIV/AIDS melalui orang luar dan juga para tenaga kerja yang bekerja di luar negeri.” Ini pernyataan Wakil Bupati Belu, Ludovikus Taolin di berita “119 Penderita HIV/AIDS di Atambua Meninggal” (kompas.com, 6/7-2012).
Penularan HIV/AIDS tidak terjadi melalui air, udara dan pergaulan sehari-hari, maka biar pun Kab Belu merupakan daerah transit ke Timor Leste, tidak akan terjadi penularan HIV/AIDS kalau tidak ada penduduk lokal yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pelintas batas.
Maka, pernyataan Taolin itu merupakan penyangkalan dengan memberikan kesan bahwa HIV/AIDS ‘disebarkan’ oleh pelintas batas. Ini yang menyesatkan dan mendorong penyebaran HIV/AIDS karena penduduk terlena dengan penyangkalan tsb.
Dikabarkan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Belu, NTT mencapai 654 dengan 119 kematian. Jumlah tersebut terdiri atas 360 laki-laki, 292 perempuan serta dua waria
Disebutkan oleh Taolin bahwa penyebaran virus mematikan di kabupaten yang berbatasan dengan Timor Leste tersebut melalui jarum suntik dan hubungan seks bebas.
Kalau yang dimaksud Taolin dengan ‘seks bebas’ adalah melacur, maka pertanyaanya adalah: Mengapa ada penduduk Beli yang melacur dengan pelitas batas?
Karena Taolin mengatakan bahwa kasus HIV/AIDS di Beli disebarkan melalui ‘seks bebas’, maka itu membuktikan bahwa ada penduduk Beli yang melacur tanpa kondom dengan pelintas batas atau pekerja seks komersial (PSK) yang ‘praktek’ di wilayah Belu.
Maka, pertanyaannya kemudian adalah: Apakan ada langkah konkret Pemkab Belu untuk menuruntkan insiden infeksi HIV pada laki-laki penduduk Belu melalui hubungan seksual dengan pelintas batas dan PSK?
Kalau jawabannya TIDAK ADA, maka persoalan besar akan dihadapi Pemkab Belu karena penyebaran HIV/AIDS melalui hubungan seksual akan dilakukan oleh laki-laki yang tertular HIV dari PSK atau pelintas batas.
Perda AIDS Prov NTT sendiri tidak menawarkan langkah-langkah konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/12/05/pencegahan-normatif-dalam-perda-aids-ntt/).
Dikatakan pula oleh Taolin “ …. (Pemkab Belu dan instansi terkait-pen.) berupaya untuk menyadarkan kepada masyarakat akan bahaya penyakit ini. Selain itu juga adanya layanan konseling dan tes sukarela (VCT) yang tersebar di 24 kecamatan yang ada di Kabupaten Belu sehingga penderita yang berada di daerah terpencil tidak perlu jauh-jauh ke kota."
Pertanyaan untuk Taolin: Berapa lama waktu yang Anda butuhkan untuk menyadarkan masyarakat agar tidak ada lagi yang melakukan perilaku berisiko, terutama laki-laki dewasa agar tidak melacur tanpa kondom?
Selanjutnya: Apakah Pemkab Belu bisa menjamin dengan penyadaran itu tidak akan ada lagi laki-laki dewasa penduduk Belu yang melacur tanpa kondom di Beli atau di luar Belu?
Tanpa disadari oleh Taolin pada rentang waktu penyadaran itu ada penduduk, terutama laki-laki dewasa, yang tertular HIV. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Maka, yang diperlukan adalah program konkret berupa intervensi agar laki-laki memakai kondom jika melacur. Langkah ini untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki ‘hidung belang’.
Klinik VCT adalah langkah penanggulangan di hilir. Artinya, Pemkab Belu membiarkan penduduknya tertular HIV dahulu baru ditangani di klinik VCT.
Yang diperlukan adalah penanggulangan di hilir agar insiden infeksi HIV baru bisa diturunkan. Jika tidak ada program yang konkret, maka Pemkab Belu tinggal menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H