“Donor darah bisa dimanfaatkan untuk mendeteksi penderita HIV/AIDS. Namun belum ada mekanisme untuk menindaklanjuti hal ini. Dengan teridentifikasinya penderita, dapat dimanfaatkan untuk menekan penyebaran penyakit.” Ini lead pada berita “Penyakit Menular. Donor Darah untuk Deteksi Penderita HIV/AIDS” (kompas.com, 28/6-2012) yang merupakan pernyataan Wakil Gubernur Jawa Tengah, Rustriningsih, dalam pembukaan Rapat Koordinasi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Jateng di Solo.
Kesimpulan di atas menunjukkan Rustriningsih dan wartawan yang menulis berita itu tidak memahami dampak dari pernyataan itu dan tidak pula mengetahui mekanisme donor di unit transfusi darah (UTD) Palang Merah Indonesia (PMI).
Pertama, yang dilakukan pada di UTD-PMI adalah skrining atau uji saring, al. HIV/AIDS, terhadap darah donor bukan terhadap donor darah. Artinya, yang dites adalah darah donor bukan donor darah.
Kedua, jika donor darah kelak menjalani tes HIV, maka banyak orang yang enggan menjadi donor darah karena takut kalau terdeteksi HIV/AIDS akan mengalami stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda).
Tanpa tes HIV saja UTD-PMI sering kekurangan stok darah, apalagi ada tes HIV tentulah krisis darah akan terjadi. Jika ini yang terjadi, siapa yang bertanggung jawab? Soalnya, darah untuk transfusi menyangkut nyawa manusia.
Ketiga, kalau pun donor darah dites HIV itu adalah di hilir. Artinya, orang-orang yang dites HIV ketika menjadi donor sudah tertular HIV.
Disebutkan dalam berita: “Di salah satu kabupaten, dari proses penyaringan darah donor oleh PMI setempat, didapati ada 180 pendonor yang darahnya terinfeksi HIV/AIDS. Namun data penderita di HIV/AIDS di kabupaten itu hanya 15 orang. Berarti ada 165 orang yang tidak tahu dirinya menderita.”
Lagi-lagi yang memberikan pernyataan ini tidak memahami (tes) HIV sebagai fakta medis.Skrining di UTD-PMI sifatnya hanya semacam survailans untuk mendeteksi berbagai penyakit yang dibawa darah, salah satu di antaranya adalah HIV/AIDS. Tapi, skrining tsb. tidak bisa jadi patokan karena untuk tes HIV diperlukan prosedur tertentu.
Donor hasur menjalani konseling sebelum darahnya diambil dan menyatakan bersedia darahnya dites HIV. Yang perlu diingat adalah skrining UTD-PMI terhadap HIV/AIDS bukan hasil tes HIV yang valid karena setiap hasil tes HIV harus dikonfirmasi dengan tes lain.
Dari pernyataan di atas perlu dipertanyakan: Apakah 15 kasus HIV/AIDS itu terdeteksi di UTD-PMI?
Selain itu perlu diingat bahwa 165 kasus yang terdeteksi di UTD-PMI hanya survailans karena hasil tes dari skirining tidak dikonfirmasi dengan tes lain. Maka, ada kemungkinan 165 kasus tsb. bisa positif palsu (hasil tes reaktif tapi tidak ada HIV dalam darah). Sebaliknya, darah donor yang dinyatakan negatif juga bisa jadi negatif palsu (HIV sudah ada di darah tapi tidak terdeteksi karena belum ada antibody HIV). Ini terjadi karena donor mendonorkan darah pada masa jendela (Lihat gambar).
Yang perlu dilalukan Pemprov Jawa Tengah bukan melakukan tes HIV bagi donor darah, tapi menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Celakanya, dalam Perda AIDS Prov Jawa Tengah sama sekali tidak ada program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru.
Maka, yang diperlukan adalah program penanggulangan di hulu bukan di hilir seperti tes HIV pada donor darah.
Disebutkan pula oleh Rustriningsih: "Belum lagi terhadap orang yang tidak suka mendonorkan darah, lebih sulit lagi mendeteksinya."
Yang perlu diingat tidak semua orang perilakunya, terutama terkait dengan seks, berisiko tertular HIV. Untuk itulah diperlukan mekanime untuk mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat dengan cara yang sistematis bukan dengan cara tes HIV pada donor darah.
Di bagian lain disebutkan: Koordinator Jaringan Peduli Perempuan dan Anak Jawa Tengah, Agnes Widanti, mengungkapkan, di Thailand diterapkan kebijakan mengambil sampel darah penduduknya yang berobat di rumah sakit.
Lagi-lagi langkah itu hanya di hilir. Artinya, orang yang sampel darahnya diambil sudah tertular HIV. Thailand menerapkan langkah itu karena sudah ada langkah di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK.
Pertanyaannya: Apakah Pemprov Jawa Tengah mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK?
Kalau jawabannya TIDAK ADA, maka insiden penularan HIV baru di hulu akan terus terjadi. Dampaknya dapat dilihat dari kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah tangga dan bayi.
Disebutkan pula: “Beberapa tahun terakhir ini, terjadi pergeseran profil penderita HIV/AIDS. Ibu rumah tangga menempati porsi terbesar penderita.”
Fakta di balik data itulah yang harusnya menjadi prioritas Pemprov Jawa Tengah, bukan melakukan tes HIV pada donor darah.
Kondisi itu terjadi karena banyak suami yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, serta waria. Bahkan, ada pula suami yang gemar LSL (lelaki suka seks lelaki).
Asisten Deputi KPA Nasional, Wenita Indrasari, mengatakan, data tahun 2011 menyebutkan, jumlah penderita AIDS terbesar adalah ibu rumah tangga sebanyak 622.
Pertanyaan untuk Wenita: Apa langkah konkret KPAN untuk memutus mata rantai penyebaran HIV kepada ibu rumah tangga?
Kalau kelak Pemprov Jawa Tengah menerapkan aturan bahwa donor darah wajib tes HIV, maka perlu langkah-langkah konkret untuk menyelamatkan persediaan darah di UTD-PMI.
Misalnya, menganjurkan agar penduduk yang perilakunya tidak berisiko, orang-orang yang bermoral, penduduk di daerah-daerah dengan jargon-jargon moral, pesantren, serta anggota dan keluarga organisasi keagamaan untuk menjadi donor darah tetap. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H