* Klaim Malaysia itu menunjukkan diplomasi Indonesia yang sangat lemah di kancah percaturan politik global
Klaim Tari Tortor dan Gordang Sambilan menambah panjang klaim Malaysia terhadap seni, kuliner dan wilayah Indonesa.
Untuk itulah pemerintah Indonesia harus segera menginventarisir ragam budaya, seni dan kuliner nusantara karena fakta menunjukkan Malaysia sudah berkali-kali mencaplok budaya, seni dan kuliner Indonesia. Terakhir adalah tari Tortor dan Gordang Sambilan yang akan didaftarkan Malaysia ke Unesco sebagai warisan budaya negara itu.
Klaim Malaysia terhadap tari Tortor dan Gordang Sambilan itu menambah panjang daftar warisa budaya, seni, kuliner dan wilayah Indonesia yang akan dicaplok Malaysia. Diperkirakan sudah 24 seni nasional, mulai dari lagu, tari, dll, yang ‘dicaplok’ Malaysia.
Tortor adalah jenis tari yang magis, berupa tarian sakral dengan ruh adat Batak yang kental dan disepadankan dengan agama yang dipeluk (Angkola, Dairi, Karo, Simalungun, Toba), serta Gordang Sambilan (Mandailing). Khasanah budaya khas Tapanuli ini tidak akan ditemukan di Malaysia.
Selain untuk keperluan ritual keagamaan tari dan gordang juga merupakan bagian dari prosesi pernikahan dan berbagai sendi kehidupan di Tapanuli.
Tari Tortor yang ditarikan oleh laki-laki dan perempuan dengan pakaian khas Ulos diiringi dengan suara-suara alat musik, seperti gondang (gendang), suling, terompet, dan lagu.
Gerakan tari dengan menganggaki kaki (injit), gerakan tangan dan badan yang gemulai memberikan ciri khas pada Tortor.Tari Tortor ini pun disesuaikan untuk keperluan, misalnya dikenal Tortor Pangurason (tari pembersihan), ada lagi Tortor Tunggal Panaluan, dll.
Lagu-lagu yang dipakai mengiringi tari Tortor pun memakai dialek khas suku yang memainkan tari tsb. sehingga berbeda dari satu suku ke suku lain di Tapanuli.
Dikabarkan Menteri Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia, Datuk Seri Rais Yatim, berencana mendaftarkan kedua budaya masyarakat Sumatera Utara itu dalam ’Seksyen 67 Akta Warisan Kebangsaan 2005’.
Tanggapan dari Kementerian Luar Negeri, seperti disampaikan oleh Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri, A.M. Fachir, yang mengatakan persoalan klaim-mengklaim antarnegara adalah persoalan yang tidak mudah menunjukkan kelemahan diplomasi Indonesia. Alasan Fachir: ”Sebab, 70 persen ras Melayu berasal dari Indonesia,” ujarnya. ”Sulit mengatakan Malaysia tidak berbudaya Jawa, Padang, Aceh, Bugis, dan lain-lain.” (tempo.co, 18/6-2012).
Memang, ada kemungkinan ada budaya dan seni serta kuliner khas Indonesia di Malaysia terjadi karena dibawa oleh perantau yang memang sudah ada sejak zaman kolonial Belanda dahulu.
Tapi, itu tidak menjadikan seni dan kuliner tsb. sebagai milik asli Malaysia biar pun dikembangkan oleh perantau di negeri itu.
Lagi-lagi klaim-klaim Malaysia itu membuka mata kita terkait dengan kelemahan diplomasi Indonesia di percaturan politik global (dari berbagai sumber). ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H