Ketika keberadaan (praktek) pelacuran diabaikan dan dinafikan justru insiden infeksi HIV baru pada laki-laki ‘hidung belang’, al. melalui pelacuran terus terjadi. Hal ini dibuktikan dengan penemuan kasus-kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga.
Kalau Thailand berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki ‘hidung belang’ melalui program yang konkret yaitu ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki pada hubungan seksual dengan pekerja seks, eh, di Prov Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terjadi justru tidak masuk akal (sehat).
Dikabarkan kasus kumulatif HIV/AIDS di NTT pada Desember 2011 tercatat 918. Sedangkan di bulan Maret 2012 kasus bertambah lagi sehingga menjadi 1.491.
Apa, sih, yang (akan) dilakukan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Prov NTT?
Yang dilakukan KPAP NTT adalah “Sosialisasi penyebaran HIV/AIDS berubah dari kelompok pekerja seks komersial ke pelanggan seks komersial. Kelompok pelanggan ini sangat rentan menyebarkan virus HIV kepada istri dan anak.” (Pelanggan Seksual Komersial Akan Dibina, kompas.com, 5/6-2012).
Ada fakta yang luput dari perhatian KPA setempat yaitu ada kemungkinan HIV/AIDS pada pekerja seks justru ditularkan oleh laki-lali asli lokal. Lalu, ada lagi laki-laki asli lokal yang tertular HIV dari pekerja seks yang sudah ditulari HIV oleh laki-laki asli lokal.
Nah, yang menjadi persoalan (besar) adalah memutus mata rantai penyebaran HIV dari laki-laki asli lokal ke pekerja seks dan sebaliknya.
Langkah untuk memutus mata rantai itu hanya bisa dilakukan dengan cara-cara yang konkret, seperti yang dijalanan Thailand.
Celakanya, di NTT tidak ada lokalisasi pelacuran sehingga program untuk mengatasi persoalan terkait dengan mata rantai penyebaran HIV tidak bisa dijalankan. Langkah yang dilakukan Prof Dr DN Wirawan di Denpasar, misalnya, yang membina pekerja seks justru ditentang karena dianggap ’melindungi pelacur’ (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/11/perlu-paradigma-baru-menanggulangi-aids/ dan http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/09/apriori-terhadap-pelacuran/).
Disebutkan dalam berita Staf KPAP NTT, Gusti Brewon, mengatakan, pihak KPAP menyadari bahwa selama ini hanya kelompok pekerja seks komersial yang menjadi sasaran pendampingan, penyuluhan, dan pembinaan terkait penyebaran virus HIV.
Selama ini juga kritik terhadap cara-cara penanggulangan terkait dengan pelacuran terus dilakukan, tapi diabaikan. Misalnya, dalam peraturan daerah (perda) tentang penanggulangan HIV/AIDS sama sekali tidak ada pasal yang konkret sebagai intervensi terhadap perilaku laki-laki ’hidung belang’.
Di NTT, misalnya, sudah ada ... perda yaitu: (1) Prov NTT tahun 2007 – Lihat:, http://sosbud.kompasiana.com/2010/12/05/pencegahan-normatif-dalam-perda-aids-ntt/, dan (2) Kab TimorTengah Selatan (TTS) tahun 2009 – Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/05/29/perda-aids-kab-tts-ntt-tidak-ada-cara-pencegahan-yang-konkret/).
Tapi, sama seperti perda-perda lain semuanya hanya copy-paste dan dirancang dengan semangat moral untuk menanggulangi fakta medis sebagai persoalan di ranah sosial.
Disebutkan dalam berita: ”Sejumlah kasus membuktikan hal itu. Sejumlah oknum pegawai negeri sipil (PNS) atau pegawai swasta, seusai menerima uang bulanan, langsung menuju kompleks lokalisasi atau pusat hiburan malam, sampai uang itu habis.”
Nah, yang diperlukan adalah langkah yang konkret bukan hanya sekedar pendampingan dengan memberikan penyuluhan yang berpijak pada moralistis belaka.
Apa yang akan dilakukan KPAP NTT terhadap laki-laki ’hidung belang’?
Dalam berita dikatakan: ”Langkah yang dilakukan adalah dengan sosialisasi penggunaan kondom terhadap mereka, membangunkan kesadaran mengenai akibat kehidupan seks bebas (seks di luar rumah), dan penggunaan uang gajian yang tidak terkontrol.”
Pertanyaan untuk KPAP NTT: Berapa lama waktu yang Anda butuhkan untuk membangun kesadaran laki-laki ’hidung belang’ agar memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks?
Agaknya, KPAP NTT lupa sosialisasi itu memerlukan waktu yang panjang dan tidak akan ada jaminan laki-laki ’hidung belang’ akan konsisten memakai kondom.
Fakta menunjukkan justru laki-laki ’hidung belang’ tidak mau memakai kondom. Karena sudah mengeluarkan uang (yang banyak), maka mereka menganggap hubungan seksual dengan pekerja seks tidak alamiah lagi jika penis dibalut dengan kondom.
Maka, yang diperlukan adalah regulasi berupa intervensi untuk memaksa laki-laki ’hidung belang’ memakai kondom pada setiap hubungan seksual dengan pekerja seks.
Langkah itu bisa dilakukan kalau Pemprov NTT melokalisir pelacuran sebagai bentuk regulasi sehingga pelanggaran terhadap pemakaian kondom bisa dijerat dengan hukum.
Tapi, bukan menjerat pekerja seks atau laki-laki ’hidung belang’ seperti yang terjadi di Kab Merauke dan Kab Mimika, Prov Papua. Yang dijerat adalah germo atau mucikari seperti yang dilakukan Thailand. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H