* Program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia hanya di lakukan di hilir
Dikabarkan Menteri Kesehatan, dr Nafsiah Mboi, DspA, MPH, akan kembali mengkampanyekan penggunaan kondom pada kelompok seks berisiko. Hal itu penting karena menjadi salah satu indikator untuk menurunkan angka HIV/AIDS di Indonesia yang kasusnya masih sangat tinggi (Menkes Dorong Penggunaan Kondom, kompas.com, 14/6-2012).
Thailand merupakan salah satu negera yang berhasil menurunkan, sekali lagi menurunkan, insiden infeksi HIV baru melalui program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).
Yang perlu diingat adalah keberhasilan Thailand itu bukan karena kampanye atau sosialisasi kondom, tapi karena ada intervensi negara berupa regulasi pada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.
Jika tidak ada lokalisasi yang dibentuk sebagai regulasi, maka program kondom akan sia-sia. Menggantang asap!
Soalnya, tidak ada mekanisme yang sistematis untuk melakukan pemantauan terhadap pemakaian kondom. Dalam semua peraturan daerah (perda) penanggulangan AIDS di Indonesia, jumlaha 54, sama sekali tidak ada mekanisme yang konkret untuk memantau program kondom.
Yang terjadi justru mencari ’kambing hitam’ yaitu menghukum PSK yang terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, dll.) dengan kurungan (ini terjadi di Kab Merauke, Papua-Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/09/13/sanksi-yang-diskriminatif-terhadap-pelanggar-perda-aids-merauke/) dan denda serta memulangkan PSK (ini terjadi di Kab Mimika, Papua-Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2012/04/30/di-timika-papua-pekerja-seks-tertular-penyakit-didenda-rp-35-juta/).
Tanpa disadari oleh Pemkab Merauke dan Pemkab Mimika yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki Papua asli dan pendatang. Lalu ada pula laki-laki Papua asli dan pendatang yang tertular HIV dari PSK.
Menkes mengatakan: "Seluruh jajaran kami siap untuk mengkampanyekan penggunaan kondom pada kelompok seks berisiko."
Nah, kalau yang dimaksud Menkes ’kelompok seks berisiko’ adalah PSK, maka keputusan untuk memakai kondom bukan ada pada PSK tapi laki-laki ’hidung belang’ dan germo atau mucikari. Bahkan, laki-laki akan mencari PSK yang mau meladeninya tanpa kondom
Itu terjadi karena posisi tawar PSK yang sangat rendah. Itulah sebabnya program ’wajib kondom’ di Thailand bukan ’menembak’ PSK, tapi menjerat germo atau mucikari. Ini amat sangat logis karena germo akan berpikir dua kali kalau izin usahanya dicabut. Kalau seorang PSK dipenjara atau dipulang, maka akan adat puluhan PSK ’baru’.
Di Manokwari, Papua Barat, misalnya, PSK asal P Jawa diharuskan mangkal di lokalisasi Maruni 55. Sedangkan PSK asal Manado boleh beroperasi di hotel di pusat kota.
Maka, tidak perlu heran kalau kelak kasusHIV/AIDS di Manokwari justru banyak terdeteksi pada kalangan berduit, seperti pegawai, karyawan, dll. Ini terjadi karena PSK di hotel tidak didampingi agar menawarkan kondom kepada laki-laki. Sedangkan di Maruni 55 ada pendampingan sehingga PSK meminta laki-laki memakai kondom.
Menurut Nafsiah, seks berisiko adalah setiap hubungan seks yang berisko menularkan penyakit dan atau berisiko memicu kehamilan yang tidak direncanakan.
Persoalannya adalah: seks berisiko terjadi di mana-mana dan setiap waktu.
Bahkan, ketika lokasi atau lokalisasi pelacuran ditutup, maka kegiatan seks berisiko terjadi di mana-mana. Seks berisik bisa terjadi di rumah, kos-kosan, penginapan, hotel melati dan hotel berbintang, di dalam terbuka, dll.
Nah, bagaimana cara yang akan dilakukan Kemenkes untuk mengetahui tempat dan waktu ada kegiatan seks berisiko?
Masih menurut Nafsiah, yang mengutip data BKKBN bahwa ada sekitar 2,3 juta wanita dewasa muda yang melakukan aborsi karena melakukan hubungan seks di luar nikah.
Data BKKBN itu perlu dipertanyakan: Apakah data itu angka kasus atau hanya sebatas perkiraan?
Nah, kalau angka itu kasus tentulah pertambahan penduduk di Indonesia sangat rendah. Tidak perlu lagi program KB karena sudah ada ’KB alamiah’.
Tidak semua pelaku aborsi karena kehamilan di luar nikah. Penelitian Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Jakarta di sembilan kota besar di Indonesia menunjukkan 87 persen pelaku aborsi adalah perempuan yang terikat dalam pernikahan yang sah (Lihat: http://kesehatan.kompasiana.com/seksologi/2011/04/19/aborsi-hujatan-moral-yang-ambiguitas-terhadap-remaja-putri/).
Nafsiah mengatakan, perlu sebuah terobosan baru untuk mengatasi penyebaran HIV/AIDS di antaranya melalui pendekatan komprehensif dan integratif mulai dari tingkat primary care.
Semua yang dilakukan dan akan dilakukan hanya di hilir. Artinya, pemerintah membiarkan penduduk tertular HIV dahulu (hulu) baru ditangani (hilir). Maka, insiden infeksi HIV baru pun akan terus terjadi (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/09/penanggulangan-aids-di-indonesia-hanya-dilakukan-di-hilir/).
Tanpa intervensi yang konkret di hulu, maka penyebaran HIV/AIDS di Indonesia akan terus terjadi. Data Kemenkes sampai 31 Maret 2012 kasus kumulatif HIV/AIDS Indonesia mencapai 113.300 terdiri atas 82.870 HIV dan 30.430 AIDS dengan 5.469 kematian (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2012/06/11/6542-kasus-hivaids-terdeteksi-pada-triwulan-pertama-2012/).
Kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi menjadi ’bom waktu’ yang kelak akan memicu ledakan AIDS. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H