* Wacana tes HIV bagi calon pengantin sudah lama dan sudah ada dalam beberapa Perda AIDS
”Ketika Denpasar Bahas Ranperda HIV/AIDS. Calon Pengantin pun Diusulkan Jalani Tes HIV/AIDS.” Ini judul berita di Harian ”Bali Post” (11/6-2012).
Bukan hanya judul ternyata di tubuh berita pun ada pernyataan ”Tak tanggung-tanggung, calon pengantin pun diusulkan untuk menjalani tes HIV/AIDS sebelum melangsungkan pernikahan.” Wartawan atau redaktur yang menulis kesimpulan ini mengabaikan realitas sosial terkait dengan penyebaran HIV/AIDS.
Pemkot Denpasar ternyata tidak belajar dari perda-perda AIDS yang sudah ada yang juga menyaratkan tes HIV bagi calon penganten. Sama pula halnya dengan wartawan yang menulis berita ini ternyata tidak mempunyai literatur yang baik tentang perda-perda AIDS di Bali khususnya dan di Indonesia umumnya.
Di Indonesia sudah ada 54 perda AIDS, 1 pergub AIDS dan 1 perwalkot AIDS yang sama sekali tidak memberikan langkah yang konkret untuk mencegah penualran HIV dan menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.
Sama halnya dengan perda-perda AIDS yang sudah ada, ternyata perda-perda AIDS yang ada di Bali juga sama sekali hanya menawarkan pasal-pasal yang tidak konkret (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/06/29/menyibak-perda-perda-penanggulangan-aids-di-bali/).
Terkait dengan tes HIV kepada calon pengantin ada beberapa hal yang luput dari perhatian, yaitu:
Pertama, tes HIV dengan rapid test dan reagent ELISA bisa menghasilkan negatif palsu (HIV sudah ada di dalam darah tapi tes nonreaktif atau negatif karena belum ada antibody HIV di dalam darah) atau positif palsu (reaktif atau positif padahal di dalam darah tida ada HIV). Ini terjadi jika darah calon pengantin dites pada masa jendela (Lihat Gambar).
Kedua, tes HIV bukan vaksin. Artinya, biar pun hasil tes sebelum menikah negatif bisa saja salah satu di antara pasangan itu tertular HIV jika ybs. melakukan perilaku berisiko tertular HIV.
Ketiga, surat bukti hasil tes negatif sebelum menikah bisa jadi bumerang karena dipakai sebagai alat untuk menyangkal jika kelak setelah menikah ada yang tertular HIV.
Tiga hal di atas diabaikan oleh banyak daerah yang membuat aturan tes HIV bagi calon pengantin. Lagi pula yang terjadi justru banyak suami tertular HIV setelah menikah.
Mengapa hal itu terjadi? Ya, iyalah karena dalam brosur, leaflet, ceramah, diskusi, khutbah, pidato, dll. disebutkan mencegah HIV adalah dengan cara ’jangan melakukan hubungan seksual sebelum menikah’. Nah, ini mengesankan tidak ada risiko tertular HIV jika melakukan hubungan seksual setelah menikah.
Dikabarkan kematian akibat penyakit terkait HIV/AIDS pada pengidap HIV/AIDS di Bali sangat mengkhawatirkan. Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Denpasar tercatat 1.980.
Kondisi itulah yang dikabarkan membuat Pemerintah Kota (Pemkot) Denpasar harus merancang Peraturan Daerah (Perda) tentang HIV/AIDS untuk mencegah penyebaran sekaligus menanggulangi kasus penyakit mematikan yang belum ditemukan obatnya ini.
Menurut Ketua Pansus HIV/AIDS DPRD Kota Denpasar, A.A. Gede Mahendra,banyak hal baru yang diusulkan pada draf Raperda AIDS Kota Denpasar. Salah satunya, usulan agar dilakukan tes HIV/AIDS untuk calon pengantin.”
Duh, ini menunjukkan tidak ada referensi dalam merancan raperda itu karena hanya copy-paste. Wacana tes HIV bari calon sudah lama dan sudah ada di beberapa perda AIDS (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/10/16/tes-hiv-sebelum-menikah-yang-akan-sia-sia/ dan http://edukasi.kompasiana.com/2011/01/09/tes-hiv-sebelum-menikah-yang-akan-sia-sia/).
Menurut Mahendra: ''Memang ada usulan agar dilakukan tes HIV/AIDS untuk calon pengantin. Tes ini untuk mengetahui, apakah salah satu pasangan ini mengidap HIV/AIDS atau tidak.''
Tes HIV itu untuk calon pengantin itu akan berbenturan dengan hasil tes.
Bagi calon pengantin yang hasil tes HIV-nya negatif palsu tentulah akan berdampak buruk terhadap pasangan itu karena ternyata salah satu atau dua-dua pasangan itu sudah tertular HIV tapi terdeteksi HIV-negatif palsu.
Bagi calon pengantin yang hasilnya tes HIV-nya positif palsu tentu akan menimbulkan persoalan besar. Bisa jadi pernikahan batal. Padahal, ybs. tidak tertular HIV.
Masih menurut Mahendra, tes HIV bagi calon pengantin dilakukan guna mengantisipasi agar anak mereka atau salah satu pasangan itu tidak tertular penyakit mematikan tersebut.
Pertanyaan untuk Mahendra: Bagaimana kalau pasangan itu tertular setelah menikah?
Fakta menunjukkan penularan HIV antara pasangan justru terjadi dalam keluarga yang sudah menikah. Maka, langkah yang perlu dilakakan dengan regulasi dalam perda adalah: Intervnesi yang konkret untuk mencegah penularan HIV dari suami ke istri dan dari istri ke anak yang dikandungnya.
Celakanya, dalam 54 perda, 1 pergub dan 1 perwalkot sama sekali tidak ada cara konkret untuk mencegah penularan HIV dari suami ke istri dan dari istri ke anak yang dikandungnya.
Selama tidak ada langkah konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan pekerja seks langsung atau pekerja seks tidak langsung, maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi di Kota Denpasar (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/26/andil-psk-tidak-langsung-dalam-penyebaran-hiv-di-denpasar/).
Bahkan, suami-suami yang sudah lolos tes HIV sebleum menikah pun tetap ada peluang sebagai penyebaran HIV kalau ada di antara mereka yang tertular HIV melalui perilaku berisiko. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H