Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

(Mitos) AIDS di Mata Hidayat Nur Wahid, Cagub DKI Jakarta

15 Mei 2012   13:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:15 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

* Siapa yang harus bertobat: Yang menularkan HIV/AIDS atau yang ditulari HIV/AIDS?

”Baginya (maksudnyaCagub DKI Hidayat Nur Wahid-pen.), kesadaran merupakan upaya pencegahan yang paling dibutuhkan untuk mengendalikan penularan HIV-AIDS.” (Cagub DKI Hidayat Nur Wahid: HIV-AIDS di DKI Spektakuler!,detikHealth, 14/5-2012).

Pertanyaannya adalah:

(1) Berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh Hidayat agar semua penduduk Jakarta, terutama laki-laki dewasa, tidak melakukan perilaku yang berisiko tertular HIV?

Perilaku berisiko tertular HIV, al.:

(a). Laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di wilayah DKI Jakarta, di luar wilayah DKI Jakarta atau di luar negeri.

(b)Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti tanpa kondom di wilayah DKI Jakarta, di luar wilayah DKI Jakarta atau di luar negeri.

(c). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek cafe’, ’cewek panggilan’, ’cewek pub’, ’cewek panti pijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’, ’pelacur kelas tinggi’, ’call girl’, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di wilayah DKI Jakarta, di luar wilayah DKI Jakarta atau di luar negeri.

(2) Apakah Hidayat bisa menjamin bahwa tidak akan ada lagi penduduk Jakarta yang melakukan (a), (b), dan (c)?

Jika jawabannya BISA, maka tidak ada risiko penyebaran HIV melalui hubungan seksual di DKI Jakarta.

Tapi, kalau jawabannya TIDAK BISA, maka penyebaran HIV di wilayah DKI Jakarta melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, akan terus terjadi.

Lagi pula rentang waktu sampai semua penduduk tidak lagi melakukan perilaku (a), (b), dan (c) sudah terjadi penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk, al. dari laki-laki dewasa yang mengidap HIV/AIDS ke pekerja seks komersial (PSK), dari PSK yang mengidap HIV/AIDS ke laki-laki yang mengencaninya tanpa kondom, dari suami yang tertular HIV dari PSK ke istrinya, serta dari istri yang tertular HIV dari suaminya ke janin yang dikandungnya.

"Memang menyedihkan karena pertumbuhan HIV-AIDS di Jakarta ini termasuk sangat spektakuler." Ini pernyataan Hidayat yang berpasangan dengan Didik Junaidi Rachbini.

Pernyataan ini menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif dari seorang calon gubernur terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Pertama, jumlah kasus HIV/AIDS akan terus bertambah biar pun penderitanya banyak yang meninggal karena pelaporan HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya.

Kedua, semakin banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi secara epidemiologi kian baik karena satu kasus terdeteksi berarti satu mata rantai diputus.

Ketiga, jumlah kasus HIV/AIDS di Jakarta banyak karena ada penduduk luar Jakarta yang menjalani tes HIV di Jakarta. Sebelum ada bantuan asing tempat tes HIV hanya ada di Jakarta dan beberapa ibukota provinsi saja. Bahkan, di sebuah tempat tes ada warga negara asing yang tes HIV.

Keempat, yang ’spektakuler’ bukan kasus HIV/AIDS, tapi perilaku sebagian penduduk dewasa yang melakukan perilaku (a), (b), dan (c).

Kelima, yang lebih ’spektakuler’ adalah Pemprov DKI Jakarta membiarkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK terus terjadi. Ini terjadi karena tidak ada program konkret yang mencegah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK

Celakanya, Perda AIDS Jakarta pun sama sekali tidak menawarkan cara-cara pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang konkret (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/28/menakar-keampuhan-perda-aids-jakarta/).

Perda ini mengabaikan pelacuran sehingga tidak ada pasal yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK.

Kasus kumulatif HIV/AIDS di DKI Jakarta tercatat 7.995 yang terdiri atas 3.998 HIV dan3.997 AIDS.

Disebutkan pula: ”Di mata salah seorang calon gubernur DKI, pertumbuhannya sangat spektakuler sehingga butuh upaya penanganan yang sangat serius.”

Apa penanganan yang ditawarkan Hidayat?

Menurut Hidayat yang dilakukan adalah: ” .... diatasi mulai dari hulu yakni di tingkat keluarga dan lingkungan masyarakat.”

Nah, bagaimana Hidayat mengatasi perilaku (a), (b), dan (c)?

Lagi-lagi menurut Hidayat: ” .... menghadirkan ’Ruang Interaksi’ sebagai sarana untuk berinteraksi soal bahaya HIV-AIDS.”

Selama informasi HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan moral, maka selama itu pula fakta (medis) tentang HIV/AIDS tidak akan pernah sampai ke masyarakat.

Menurut Hidayat, tujuan ’Ruang Interaksi’ adalah ” .... supaya tiap keluarga punya kegiatan yang konstruktif, terbuka dan nyaman sehingga tidak terjebak dalam perilaku sembunyi-sembunyi yang berakibat pada penularan HIV-AIDS."

Tidak jelas apa yang dimaksud Hidayat dengan ’perilaku sembunyi-sembunyi yang berakibat pada penularan HIV-AIDS’.

Dalam ikatan pernikahan yang sah pun (sifat hubungan seksual) bisa terjadi penulran HIV jika salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama (kondisi hubungan seksual).

Solusi lain yang ditawarkan Hidayat adalah sosialisasi tetang bahaya dan pencegahan HIV/AIDS: "Termasuk dari rekan-rekan yang sudah terkena dan kemudian bertobat, atau sudah memperbaiki diri, mungkin mereka bisa diajak dalam sosialisasi."

Lagi-lagi pernyataan ’kemudian bertobat’ merupakan stigma terhadap orang-orang yang tertular HIV karena dikesankan mereka melakukan perbuatan yang melawan norma, moral dan agama.

Padahal, banyak orang yang tertular HIV sama sekali tidak ada kaitannya dengan norma, moral dan agama, seperti: istri-istri yang tertular HIV dari suaminya, bayi yang tertular HIV dari ibunya, serta orang-orang yang tertular HIV melalui transfusi darah.

Bahkan, PSK pun tertular HIV dari laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, selingkuhan, pacar, lajang, duda, dll. yang bekerja sebagai pegawai, aparat keamanan,karyawan, mahasiswa, pelajar, tukang ojek, wartawan, pencopet, perampok, dll.

Brosur tentang HIV/AIDS yang diterbitkan KPAP DKI Jakarta dengan landasan agama-agama pun sama sekali tidak memberikan cara yang konkret untuk mencegah penularan HIV (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/02/25/menyibak-pencegahan-hiv-dalam-pandangan-agama-agama/).

Nah, siapa sebenarnya yang harus bertobat: Yang menularkan HIV/AIDS atau yang ditulari HIV/AIDS? ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun