Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Money

Memekarkan Provinsi Sumatera Utara: Menggagas Provinsi Sumatera Tenggara

5 Mei 2012   02:46 Diperbarui: 16 Januari 2020   12:38 3092
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jauh sebelum reformasi kawasan Tapanuli di Prov Sumatera Utara (Sumut) sudah ’bergolak’. Bukan hanya ingin dimekarkan seperti yang banyak terjadi setelah reformasi, tapi tuntutan ’merdeka’.

Setelah reformasi hiruk-pikuk pembentukan Provinsi Tapanuli (dulu tiga kabupaten besar, yaitu Tapanuli Utara, Tengah dan Selatan, kemudian tiga kabupaten itu dimekarkan) yang berujung unjuk rasa anarkis dengan kematian anggota DPRD Sumut.

Penyatuan tiga kabupaten itu sulit karena terkait dengan berbagai aspek sosial dan ekonomi

Untuk itulah ada gagasan untuk memenbutk provinsi baru di bagian selatan dan tenggara Sumut yaitu menyutukan Kab Tapanuli Selatan (Tapsel), Kab Mandailing Natal (Madina), Kab Padang Lawas, Kab Padang Lawas Utara dan Kota Padangsidimpuan. Karena ada keterkaitan budaya maka dirangkul pula Kab Labuhan Batu Selatan yang berbatasan dengan Padang Lawas.

Daerah-daerah ini secara sosial dan ekonomi hampir homogen sehingga kecil kemungkinan timbul friksi sosial dengan latar belakang aspek-aspek sosial. 

Tiga kabupaten ’induk’ yang dulu akan bergabung sebagai Prov Tapanuli ada ’perbedaan’ yang mendasar terkait dengan beberapa aspek sosial. Proporsi suku dan agama dua kabupaten berbeda. Begitu pula dengan potensi alam ada perbedaan yang sangat mencolok.

Maka, dua kabupaten ’induk’ yaitu Tapanuli Utara (Tapanuli Utara dan Toba Samosir) dan Tapanuli Tengah (Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga) bisa menyatu menjadi provinsi baru. Sebaliknya, Tapanuli Selatan sebagai ’induk’ juga membentuk provinsi (baru) bersama kabupaten pemekaran yaitu Tapanuli Selatan, Madina, Padang Lawas dan Padang Lawas Utara serta Kota Padangsidimpuan. 

Ada juga wacana untuk mengajak Kab Labuhan Batu bergabung di Provinsi Sumatera Tenggara. 

Kab Madina sendiri pernah dikabarkan akan memilih bergabung dengan pemekaran bagian utara Sumatera Barat daripada bergabung dengan Prov Tapanuli. 

Daerah-daerah yang bergabung di Sumatera Tenggara mempunyai potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang handal. 

Hasil bumi mulai dari padi, kulit manis, karet, dll. Salah Sidimpuan belum ada tandingannya di Indonesia. Peternakan pun potensial karena ada padang seperti savana di Padanglawas dan Padanglawas Utara. Tanah di Sumatera Tenggara bagaikan ’kolam susu’, seperti bait lagu ”Koes Plus”: batang ubi dilemparkan saja akan tumbuh.

Brain drain (perpindahan besar-besaran komunitas, kelompok atau individu yang mempunyai keterampilan dan pengetahuan) dari kawasan Sumatera Tenggara sangat besar ke berbagai pelosok di Tanah Air, bahkan ke luar negeri. Tidak sedikit pejabat tinggi sipil dan militer, pengacara, pengusaha, dll. yang berasal dari Sumatera Tenggara. Pejabat dengan marga asal Sumatera Tenggara pernah duduk di pemerintah sipil dan militer mulai dari Aceh sampai Papua. 

Jika Sumatera Tenggara terwujud perantau dengan berbagai keahlian akan mendongkrak dan mendorong perkembangan daerah itu kelak. 

Persoalan besar yang dihadapi kawasan itu adalah arogansi pejabat-pejabat daerah karena ’kekuasaan’ yang diberikan UU Otonomi Daerah. Roda pemerintahan di sana berjalan dengan mengabaikan sebagian besar hak-hak rakyat.

Kawsasan Sumatera Tenggara sejak dahulu dikenal sebagai salah satu ’lumbung’ intelektual, tapi sejak reformasi dunia pendidikan di Sumatera Tenggara berada di titik nadir. Sangat kecil prosentase lulusan SMA/SMK/MA dari Sumatera Tenggara yang bisa menembus perguruan tinggi negeri ternama. Ini sangat berbeda dengan kodisi sebelum tahun 1980-an. 

Perantau asal Sumatera Tenggara sulit masuk ke sana karena arognasi pejabat-pejabat daerah yang merasa kedudukannya terancam. 

Pendidikan politik bagi masyarakat Sumatera Tenggara sangat rendah. Rakyat jadi ’bulan-bulanan’. Apresiasi terhadap hukum pun sangat kecil sehingga banyak korban ’pokrol bambu’ (’pengacara’ dengan kemampuan terbatas dan tidak terdaftar sebagai anggota organisasi). Keluarga carai-berai hanya karena ulah ’pokrol bambu’ yang memanas-manasi penduduk terkait dengan harta warisan agar memilih pengadilan daripada firaidl (pembagian harta warisan berdasarkan Alquran). 

Jika Provinsi Sumatera Tenggara terbentuk diharapkan pengembangan wilayah itu bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat yang selama ini diabaikan. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun