”Ratusan pekerja seks komersial (PSK) yang beroperasi di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, ditengarai mengidap HIV/AIDS.”Ini lead pada berita ”Ratusan PSK di Jatim Mengidap HIV/AIDS” (www.berita8.com, 17/10-2011).
Lead berita itu sensasional sehingga tidak mengandung fakta. Kondisi HIV seseorang tidak bisa diduga-duga (ditengarai) karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV. Status HIV seseorang hanya bisa diketahui melalui tes HIV sesuai dengan standar prosedur tes HIV yang baku.
Disebutkan pernyataan pada lead berita itu merupakan sinyalemen yang dikemukakan oleh Kepala Seksi Penanggulangan Penyakit Menular Dinas Kesehatan Tulungagung, Didik Eka.
Lagi pula status HIV pada pekerja seks terkait dengan epidemiologi HIV/AIDS yang jadi persoalan bukan (pada) pekerja seks, tapi pada laki-laki dewasa penduduk lokal, asli atau pendatang.
Pertama, yang menularkan HIV kepada pekerja seks adalah laki-laki dewasa yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, pacar, lajang atau duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, tukang beca, pengojek, petani, nelayan, rampok, dll. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat, tertutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Kedua, ada pula lali-laki dewasa yang tertular HIV dari pekerja seks. Mereka ini pun dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, pacar, lajang atau duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, tukang beca, pengojek, petani, nelayan, rampok, dll. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat, tertutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Celakanya, karena HIV/AIDS selalu dibicarakan dengan pijakan moral, maka pekerja seks selalu menjadi ’kambing hitam’. Inilah yang membuat penyebaran HIV terus terjadi karena penanggulangan tidak menyentuh akar persoalan yaitu laki-laki yang menularkan HIV kepada pekerja seks dan laki-laki yang tertular HIV dari pekerja seks.
Di bagian lain disebutkan: ” .... penyakit menular mematikan tersebut, ....” Pernyataan ini menunjukkan pemahaman wartawan terhadap HIV/AIDS sangat rendah. Kematian pada orang-orang yang mengidap HIV/AIDS bukan karena (virus) HIV atau (kondisi) AIDS, tapi karena penyakit-penyakit yang muncul pada masa AIDS, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.
Pernyataan Didik yang menyebutkan: "Totalnya hingga saat ini ada sekitar 107 PSK yang telah dinyatakan positif tertular sekaligus mengidap HIV/AIDS" tidak akurat.
Kalau kutipan itu benar pernyataan Didik, maka sangat disayangkan petugas kesehatan tidak bisa membedakan HIV dan AIDS. Seseorang bisa terdeteksi HIV (melalui tes HIV) sebelum masa AIDS (kondisi seseorang yang sudah tertular HIV antara 5-15 tahun setelah tertular), bisa pula terdeteksi HIV pada masa AIDS.
Jika setiap hari seorang pekerja seks meladeni 3-5 laki-laki, maka dengan 107 pekerja seks yang mengidap HIV/AIDS, maka setiap malam antara 321 – 535 laki-laki ’hidung belang’ penduduk Kab Tulungagung yang berisiko tertular HIV.
Disebutkan: ”Didik mengungkap fakta penting yang selama ini tidak banyak diketahui publik setempat bahwa kebanyakan PSK dengan HIV/Aids itu justru berasal dari kelompok PSK tidak langsung atau mereka yang beraktivitas menjajakan layanan esek-esek secara terselubung.”
Fakta itu bukan hal baru, tapi karen selama ini penularan HIV selalu dikaitkan dengan pekerja seks yang kasat mata, seperti di lokalisasi atau lokasi pelacuran, maka banyak yang merasa tidak berisiko tertular HIV karena mereka melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks tidak langsung di berbagai tempat di luar lokalisasi dan lokasi pelacuran.
Di Sulawesi Selatan dan Bali penyebaran HIV didorong oleh pekerja seks tidak lansung (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/18/aids-di-sulawesi-selatan-didorong-psk-tidak-langsung/ dan http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/26/andil-psk-tidak-langsung-dalam-penyebaran-hiv-di-denpasar/).
Pemkab Tulungagung sendiri sudah mengeluarkan peraturan daerah (perda) tentang penanggulangan HIV/AIDS, tapi karena perda itu sarat denga moral maka tidak menyentuh akar persoalan terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS yang konkret (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/07/29/peran-perda-aids-kab-tulungagung-dalam-menanggulangi-penyebaran-hiv/).
Agaknya, Pemkab Tulungagung tinggal menunggu waktu ’ledakan AIDS’ karena kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat akan menjadi ’bom waktu’. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H