Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Penanggulangan HIV/AIDS di Papua: Memilih (Memasyarakatkan) Sunat daripada (Sosialisasi) Kondom

21 Agustus 2011   07:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:35 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Publikasi Badan Kesehatan Sedunia (WHO) tentang manfaat sunat (sirkumsisi) pada laki-laki yang dikabarkan bisa menurunkan risiko tertular HIV melalui hubungan seksual 60 persen dengan yang mengidap HIV ternyata ditanggapi dengan cara yang tidak komprehensif.

Bahkan, sirkumsisi pun dijadikan sebagai ‘keunggulan’ agama tertentu dan dipromosikan pula bisa mencegah penularan HIV. Sirkumsisi sebagai ‘alat’ bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi bisa menurunkan risiko tertular HIV, tapi di sisi lain promosi sirkumsisi yang disebut bisa mencegah penularan HIV pun mendorong laki-laki untuk melakukan hubungan seksual berisiko karena mereka menganggap sudah memakai kondom ‘alam’ (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/01/catatan-hari-aids-sedunia-%E2%80%9Ckondom-alam%E2%80%9D-dorong-penyebaran-hivaids/, http://edukasi.kompasiana.com/2011/06/03/kondom-lateks-vs-%E2%80%98kondom-alam%E2%80%99-sunat/ dan http://regional.kompasiana.com/2011/06/13/kondom-lateks-ditolak-%E2%80%98kondom-alam%E2%80%99-sunat-jadi-pilihan/).

Tapi, karena sirkumsisi dikaitkan dengan agama, maka dampak buruk dari promosi sunat itu pun diabaikan. Padahal, pengalaman seorang praktisi kesehatan di Subang, Jabar, menunjukkan banyak laki-laki yang disunat tertular IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, virus hepatitis B, dll.). Bertolak dari fakta ini tentulah tertular HIV pun tetap bisa terjadi karena penularan IMS persis sama dengan penularan HIV.

Di Prov Papua, misalnya, kalangan pemerintah dan agamawan terus-menerus mempromosikan sunat untuk ‘menghalau’ HIV/AIDS. Bahkan, mereka pun mengait-ngaitkan sunat dengan kitab suci. Padahal, tidak ada agama yang menjadikan sunat sebagai kewajiban.

Dengan kasuskumulatif HIV/AIDS yang sudah mencapai 7.300 langkah yang harus ditempuh Pemprov Papua bukan lagi dengan memasyarakatkan sunat, tapi membuat regulasi untuk ‘memaksa’ laki-laki ‘hidung belang’ memakai kondom jika melakukan hubungan seksual yang berisiko (Uupps...Kasus HIV/AIDS di Papua Mencapai 7.300, republika.co.id, 20/8-2011).

Pelaksana Ketua Harian Komisi Penanggulangan AIDS, Provinsi Papua, drh Constant Karma, mengatakan pihaknya telah melakukan sejumlah pertemuan kepada konselor-konselor HIV/AIDS yang berasal dari tenaga kerja sosial masyarakat (TKSM) yang ada di wilayah tersebut guna memberikan penambahan pengetahuan dan pemahaman yang lebih spesifik terkait penyakit tersebut.

Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah informasi HIV/AIDS yang diberikan kepada konselor-konselor HIV/AIDS itu bertumpu pada fakta medis?

Kalau jawabannya YA, maka langkah konkret yang harus disampaikan kepada masyarakat, terutama laki-laki dewasa, adalah cara-cara pencegahan HIV melalui hubungan seksual yang realistis. Cara yang realistis adalah harus memakai kondom sejak awal sampai hubungan seksual berakhir jikahubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung serta perempuan pelaku kawin-cerai. Apakah hal ini disampaikan kepada konselor HIV/AIDS?

Tapi, kalau jawaban atas pertanyaan yang sangat mendasar tadi TIDAK, maka upaya penanggulangan HIV/AIDS pun tetap dengan cara-cara yang tidak membumi karena hanya mengedepankan moral. Ketika insiden infeksi IMS dan HIV baru terus terdeteksi pada laki-laki dewasa atau pada ibu-ibu rumah tangga itu membuktikan penanggulangan yang dilakukan hanya dengan moral yang berujung pada mitos (anggapan yang salah).

Disebutkan: “ …. UNICEF sebagai mitra kerja mereka yang sama-sama peduli akan perlunya pendidikan HIV/AIDS diajarkan kepada siswa sekolah.” Sebuah buku berisi kumpulan tulisan murid-murid SLTP di Papua yang diterbiktan Unicef, misalnya, membiarkan pemahanan anak-anak yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/10/23/membiarkan-remaja-berjalan-dengan-pikirannya-yang-terkontaminasi-moral/).

Pertanyaannya adalah: Apakah materi pendidikan HIV/AIDS yang diajarkan kepada murid-murid itu bertumpu pada fakta medis? Kalau tidak maka hasilnya sudah dapat ditebak: Nol Besar!

Langkah pemerintah kabupaten dan provinsi di Papua dengan menelurkan peraturan daerah (perda) untuk menanggulangi penyebaran HIV pun hanyalah ’menggantang asap’ karena perda-perda itu sama sekali tidak menawarkan cara-cara yang konkret dalam menanggulangi HIV/AIDS (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/08/06/eufemisme-dalam-perda-aids-prov-papua/ dan http://regional.kompasiana.com/2011/04/02/ironi-perda-penanggulangan-aids-di-prov-papua/).

Agaknya, Pemprov Papua lebih memilih moral daripada langkah konkret dalam menanggulangi HIV/AIDS di Bumi Cenderawasih itu.

Maka, jangan heran kalau kemudian insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa akan terus terjadi. Istri yang terdeteksi HIV/AIDS pun akan terus bertambah seiring dengan jumlah laki-laki ’hidung belang’ yang tertular HIV melalui perilaku berisiko. ***[Syaiful W. Harahap]***

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun