* Jika Perda AIDS Sumbar itu hanya copy-paste maka sudah bisa dipastikan tidak menyentuh akar persoalan
Ketika kalangan ahli memperingatkan Indonesia tentang tingkat penyebaran HIV/AIDS yang kian cepat, tapi pemerintah tidak melakukan langkah-langkah yang konkret. Misalnya, peringatan dari Dr Peter Piot, waktu itu Direktur Eksekutif UNAIDS, badan PBB yang menangani HIV/AIDS, di Kongres Internasional AIDS Asia Pasifik (ICAAP) VI di Melbourne, Australia, 2001. Peringatan Piot itu dianggapan angin lalu. Anjing menggonggong kafilah berlalu.
Baca juga: AIDS di Indonesia Menjadi Sorotan
Langkah setengah hati yang dilakukan pemerintah justru membuat regulasi penanggulangan HIV/AIDS melalui peraturan daerah (Perda). Materi pokok dalamperda adalah meniru pengalaman Thailand yang berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir melalui program ‘wajib kondom 100 persen’.
Perda pertama ‘lahir’ di Kab Nabire, Prov Papua (2003), tentang Pemakaian Kondom 100% di Tempat-tempat Hiburan. Celakanya, program yang sudah berhasl di Thailand itu hanya ‘dicangkok’ sehingga tidak utuh.
Baca juga: Perda Kondom Kab Nabire, Papua: Pemantauan Tidak Konkret
Sampai sekarang sudah ada 57 perda AIDS mulai dari tingkat provinsi, kabupaten sampai kota. Perda AIDS Sumbar merupakan yang ke-57.
Menurut Gubernur Sumatera Barat (Sumbar), Irwan Prayitno: “Bagaimanapun, besar atau kecilnya HIV/AIDS di Sumbar, kita harus cegah.” (Perda HIV/AIDS Disahkan, Harian ”Padang Ekspres”, 23/03-2012).
Pertanyaannya adalah: Apakah dalam perda tsb. ada langkah-langkah konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS di Sumbar?
Soalnya, dalam 50 dari 56 perda AIDS yang ada tidak satu pun yang memuat pasal konkret untuk mencegah penularan HIV.Perda-perda itu pun hanya copy-paste. Perda AIDS Sumbar ini pun sudah bisa dipastikan juga hanya copy-paste. Maka, pastilah tidak ada pasal yang menawarkan cara pencegahan HIV yang konkret.
Persoalan yang dihadapi Sumbar al. adalah mobilitas penduduk yang tinggi, kawin-cerai dan beristri lebih dari satu. Jika dalam perda itu tidak ada intervensi terhadap perilaku seks, terutama laki-laki, maka penyebaran HIV di Sumbar akan membuahkan ’Panen AIDS’.
Untuk itulah Pemprov Sumbar harus membuat regulasi sebagai intervensi terkait dengan perilaku sebagian laki-laki dewasa (Lihat Gambar)
Penjangkauan terhadap praktek-praktek pelacuran (Sumber: Dok. Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Langkah pertama adalah dalam Perda ada pasal yang mewajibkan laki-laki memakai kondom jika melakukan hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung dan PSK tidak langsung.
Jika langkah pertama tidak bisa dijalankan, maka langkah kedua adalah mewajibkan laki-laki yang melakukan melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung dan PSK tidak langsung, memakai kondom jika sanggama dengan istrinya.
Langkah terakhir atau yang ketiga adalah menjalankan program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Dalam hal ini dipertanyakan: Apakah dalam perda ada pasal yang berisi langkah konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan?
Jika dalam perda tidak ada langkah-langkah itu maka bias dipastikan insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual berisiko. Penyebaran HIV/AIDS di Sumbar tergantung pada perilaku seksual penduduknya, terutama laki-laki dewasa.
Baca juga: AIDS di Sumatera Barat Tergantung pada Perilaku Seksual Penduduk
Masih menurut Irwan: “Secara teknis sampai saat ini, tidak ada data pasti berapa jumlah penderita HIV/AIDS di Sumbar. Data yang ada pun belum menggambarkan kenyataan riil di lapangan, karena kecenderungannya para penderita lebih memilih untuk menutup diri.”
Epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (624 terdiri atas 72 HIV dan 552 AIDS) digambarkan seperti puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan seperti bongkahan gunung es yang ada di bawah permukaan air laut (Lihar Gambar).
Mengapa banyak kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi?
Ya, itu terjadi karena tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat. Di beberapa negara di Asia ada sistem yang bisa mendeteksi penduduk yang mengidap HIV/AIDS yaitu melalui survailans tes HIV (Lihat Gambar 3).
Disebutkan pula oleh Irwan: ” .... kecenderungannya para penderita lebih memilih untuk menutup diri.”
Pernyataan itu tidak akurat karena kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak di masyarakat terjadi karena orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka. Ini terjadi antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV.
Justru orang-orang yang sudah terdeteksi mengidap HIV/AIDS tidak menutup diri karena mereka membutuhkan perawatan dan pengobatan. Kalau mereka menutup diri maka obat antiretroviral (ARV), yaitu obat untuk menekan laju perkembangan HIV di darah, tidak bisa mereka peroleh secara gratis.
Di bagian lain Irwan juga mengatakan: “Mereka yang terkena AIDS, biasa menyembunyikan diri dan malu. Sehingga kita tidak tahu berapa data sebenarnya. Makanya tidak terdata secara pasti jumlahnya.”
Pernyataan Irwan itu jelas tidak akurat. Itu hanya asumsi karena pemahaman terhadap HIV/AIDS yang tidak komprehensif.
Kalau dalam perda itu tidak ada cara-cara pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang konkret, maka Pemprov Sumbar tinggal menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H