Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tinggi, Tingkat Kematian Terkait HIV/AIDS di NTT

21 Maret 2012   16:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:39 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

”Perkembangan kasus HIV/AIDS di Provinsi NTT sejak 1997 hingga Februari 2012 terus menunjukkan peningkatan yang signifikan. Terbukti, hingga Februari lalu tercatat 1.491 kasus HIV/AIDS ditemukan di NTT dan dari jumlah tersebut 403 penderita telah meninggal dunia.” Ini lead di beritaRatusan Orang Meninggal di NTT Akibat HIV/AIDS”(inilah.com, 21/3-2012).

Kasus kumulatif HIV/ADIS di NTT sampai Februari 2012 tercatat 1.491 yang terdiri atas 699 HIV dan 792 AIDS dengan 403 kematian.

Pernyataan pada lead berita tsb. menunjukkan pemaham yang tidak komprehensif terkait dengan HIV/AIDS.

Pertama, pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga angka kasus HIV/AIDS tidak akan pernah turun biar pun banyak penderita yang meninggal.

Kedua, yang terjadi bukan perkembangan tapi penambahan kasus baru ke kasus lama.

Ketiga, kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) bukan karena HIV/AIDS, tapi penyakit lain yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TBC, dll. Dalam berita tidak ada penjelasan tentang penyakit penyebab kematian 403 Odha itu.

Ketidakmampuan wartawan membawa data ke realitas sosial membuat data kematian terkait AIDS tidak berarti bagi masyarakat. Padahal, dengan 403 kematian dari 1.491 penderita HIV/AIDS tentulah kondisi yang sangat buruk terkait dengan pelayanan kesehatan. Tingkat kematian mencapai 27,03 persen.

Kematian pada Odha terjadi di masa AIDS yaitu setelah tertular antara 5 – 15 tahun. Nah, pada rentang waktuitu sebelum meninggal 403 Odha yangmeninggal itu sudah menularkan HIV kepada orang tanpa mereka sadari.

Kalau 403 Odha itu mempunyai pasangan, istri atau suami, maka sudah ada 806 penduduk NTT yang mengidap HIV/AIDS. Kalua ada yang mempunyai istri lebih dari satu, maka jumlah penduduk yang berisiko tertular HIV makin besar.

Jumlah penduduk yang berisiko tertular HIV akan sangat besar kalau ada pekerja seks di antara Odha yang meninggal itu. Setiap malam seorang PSK meladeni tiga laki-laki ’hidung belang’. Bisa dibayangkan jumlah laki-laki yang sanggama tanpa kondom dengan pekerja seks pada rentang waktu sejak tertular sampai meninggal.

Realitas inilah yang tidak muncul dalam banyak berita HIV/AIDS sehingga masyarakat tidak merasa berkepentingan terhadap kasus kematian Odha.

Menurut Ketua Pelaksana Harian Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi NTT, Ir Esthon Foenay, M.Si, mengatakan: ” .... akar permasalahan sesungguhnya dari masalah ini sebenarnya karena Pemerintah kurang aktif turun ke masyarakat untuk menjelaskan tentang bahayanya virus HIV/AIDS ini jika telah menyerang tubuh.”

Akar dari akar permasalahan yang disampaikan Esthon, al. justru datang dari pemerintah. Materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV/AIDS selama ini tidak akurat karena dibumbui dengan moral sehingga fakta (medis) HIV/AIDS hilang. Masyarakat hanya menangkap mitos (anggapan yang salah), misalnya, pengaitan penularan HIV dengan moral dan agama. Tidak ada kaitan langsung antara moral dan agama dengan penularan HIV.

Sekretaris KPA Provinsi NTT, dr. Husein Pancratius, mengatakan: ” .... VCT merupakan pintu masuk bagi KPA NTT untuk bertindak dalam menangani kasus HIV/AIDS.”

Sayangnya, langkah KPA itu dilakukan di hilir. Artinya, menunggu penduduk tertular HIV baru tes di klinik VCT. Ini sama sekali tidak besar manfaatnya dalam menanggulangi HIV/AIDS karena pada saat yang sama insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki melalui hubungan seksual tanpa kondom, dengan pekerja seks terus terjadi (hulu).

Memang, sama seperti daerah lain tidak ada langkah-langkah konkret untuk mencegah penularan HIV di hulu. Lihat saja di Perda AIDS NTT (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/12/05/pencegahan-normatif-dalam-perda-aids-ntt/).

Dengan tingkat penyebaran yang tinggi, maka yang diperlukan adalah langkah yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV pada laki-laki ’hidung belang’.

Jika program penanggulangan tidak dilakukan di hulu, maka jumlah insiden infeksi HIV baru pun akan terus terjadi. Pada gilirannya jumlah kasus terus bertambah dan pada suatu saat akan meledak sebagai ’ledakan AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun