Salah satu upaya untuk memutus mata rantai penyebaran IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, hepatitis B, dll.) serta HIV dari masyarakat, dalam hal ini laki-laki ‘hidung belang’ ke pekerja seks dan sebaliknya. Dikabarkan sudah terdeteksi 103 kasus HIV/AIDS di Kab Batang.
Tapi, di Kab Batang, Jawa Tengah, upaya untuk memberikan layanan kesehatan kepada pekerja seks justru ‘dihadang’ oleh polisi yang menurut mereka menjalankan tugas sesuai dengan Perda No. 6 tahun 2011 tentang Pembrantasan Pelacuran. Pihak yang memberikan layanan kesehatan kepada pekerja seks juga menjalankan perintah perda yang sama.
Untuk menjalankan fungsi sebagai untuk menanggulangi penyebaran IMS dan HIV/AIDS maka dilakukan pelayanan kesehatan melalui mobile clinic (klinik bergerak berupa mobil dengan perlengkapan standar). Secara rutin klinik bergerak dilakukan oleh Klinik VCT RSUD Kalisari dan Klinik IMS Batang II didampingi oleh LSM Pelita Tegal selaku IU-SSR Graha Mitra (mitra lokal sebagai lembaga penjangkau) di nonlokalisasi Boyong Sari, Kel Karangasem Selatan, Kec. Batang, setiap hari Selasa minggu I dan II.
Klinik pun sudah memberitahu jadwal ini ke pihak-pihak terkait, termasuk Polres Batang. Tapi, apa lacur. Upaya untuk melindungi masyarakat itu buyar karena tiba-tiba satu truk polisi dari Polres Batang. Klinik yang dimulai pukul 10.00 (6/3-2012) pun ‘gatot’ (gagal total) karena pukul 10.30 baru lima pekerja seks yang datang dan karena ada razia di siang bolong itu pekerja seks pun bubar. Baru satu pekerja seks yang menerima layanan kesehatan.
Fenomena inilah yang luput dari perhatian polisi, termasuk polisi pamong praja, dalam konteks penanggulangan epidemi IMS dan HIV/AIDS. Penegakan hukum tidak semerta menjadi bagian yang baik terkait dengan penanggulangan IMS dan HIV karena ada aspek-aspek sosial yang luput dari perhatian (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/09/14/praktek-pelacuran-terjadi-di-berbagai-tempat/).
Pertanyaannya adalah: Mengapa Pak Polisi melakukan razia pada saat klinik pelayanan dilakukan di lokasi pelacuran itu?
‘Kan banyak waktu yang merazia pekerja seks. Lagi pula jika razia pada saat layanan tentulah Pak Polisi tidak mendapatkan barang bukti, misalnya menangkap basah pekerja seks sedang sanggama dengan laki-laki.
Pihak klinik meminta kepada Pak Polisi agar pekerja seks dilayani dulu baru diperiksa. Tapi, Pak Polisi bersikeras dengan nada ketus: “Ini tugas dan harus gerak cepat.” Wah, Pak Polisi hebat betul. Tapi, maaf, apakah untuk penanganan perkara lain juga dilakukan dengan ‘gerak cepat’?
Klinik masih mencoba negosiasi agar pekerja seks dilayani dulu, tapi Pak Polisi justru mengatakan (kira-kira): “Kalau tetap ngeyel, Ibu pun silakan ikut.” Pak Polisi mengatakan pekerja seks itu dilayani setelah diproses di kantor polisi atau setelah vonis sidang pengadilan.
Menurut Pak Polisi kalau layanan tetap dilakukan di lokasi pelacuran itu maka pihak yang memberikan layanan dituduh sebagai pihak yang melegalkan pelacuran dan melanggar hukum sesuai dengan perda yang ada. Rupanya, Pak Polisi tegas untuk menegakkan hukum, tapi: Apakah praktek pelacuran hanya ada di lokasi itu?
Lagi pula perda itu juga mengatur upaya layanan kesehatan kepada pekerja seks sebagai bagian dari penanggulangan IMS dan HIV/AIDS. Salah satu di antaranya adalah pelayanan dan penyuluhan kepada pekerja seks.
Memang, itulah yang terjadi. Polisi membawa tiga pekerja seks tanpa barang bukti. Satu pekerja seks ditangkap ketika sedang mendaftar dan dua lagi ditangkap di jalan menuju ke klinik.
Apakah ada barang bukti? Ya, tentu saja tidak ada. Sidang di pengadilan hakim memutuskan tiga pekerja seks itu bersalah didenda Rp 1.000.000 atau kurungan 10 hari. Putusan hakim berdasarkan asumsi mereka melakukan praktek prostitusi karenamereka berada di lokasi yang disinyalir melakukan praktek pelacuran dengan berpakaian seksi. Dari tiga yang divonis satumembayar denda dan dua dikurung karena tidak bisa membayar denda.
Pak Polisi dan Pak Hakim boleh-boleh saja bertindak tegas, tapi yang dilupakan oleh Pak Polisi dan Pak Hakim adalah ada laki-laki, bisa siapa saja, yang sudah menularkan IMS dan HIV atau kedua-duanya kepada pekerja seks, termasuk yang ditangkap, dan sudah banyak pula laki-laki yang tertular IMS atau HIV atau kedua-duanya sekaligus kepada laki-laki yang juga bisa siapa saja.
Di masyarakat laki-laki yang menularkan IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus kepada pekerja seks dan yang tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus dari pekerja seks menjadi mata rantai penyebaran IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus di masyarakat.
Suatu saat akan ada bukti, siapa, sih, laki-laki yang menularkan IMS atau HIV kepada pekerja seks dan yang tertular IMS atau HIV dari pekerja seks ketika kelak ada istri yang terdeteksi mengidap IMS atau HIV atau dua-duanya.
Untunglah rapat koordinasi pihak layanan klinik dengan Polres Batang akhirnya menyepakati agar saat razia tidak berbarengan dengan layanan kesehatan. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H