Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Klinik ‘Antisipasi’ AIDS di Gunungkidul, DI Yogyakarta

9 Maret 2012   07:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:19 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Mengontrol tingginya angka kasus HIV-AIDS di Gunungkidul, Dinas Kesehatan (Dinkes) berencana membuka klinik coluntary counseling test (VTC). Klinik ini berupa layanan kesehatan bagi konseling tes sukarela HIV-AIDS.” Ini lead beritaBuka Klinik Antisipasi HIV-AIDS” di www.radarjogja.co.id (3/3-2012).

Terkait dengan kasus HIV/AIDS ada pemahaman yang tidak komprehensif di banyak orang.

Pertama, jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi akan terus bertambah karena cara pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya. Maka, biar pun ada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang meninggal angka laporan kasus HIV/AIDS tidak akan berkurang.

Kedua, tes HIV di klinik VCT bukan mengontrol penyebaran HIV, tapi untuk mendeteksi penduduk yang sudah tertular HIV.

Bertolak dari dua fakta di atas, maka klinik VCT bukan untuk ’mengotrol tingginya angka kasus HIV-AIDS di Gunungkidul’ tapi untuk mendeteksi penduduk yang sudah mengidap HIV.

Persoalannya adalah: Siapa, sih, penduduk Gunungkidul yang dianjurkan tes HIV ke klinik VCT?

Informasi tentang itulah yang selalu tidak muncul dalam berita, ceramah, materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS. Akibatnya, banyak orang yang tidak mengetahui perilakunya berisiko tinggi tertular HIV.

Menurut Kepala Bidang Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular (P2KP) Dinkes Gunungkidul, Dewi Irawati, ” .... VTC ini merupakan pintu masuk untuk pencegahan dan perawatan HIV-AIDS.”

Klinik VCT memang untuk mendeteksi atau menjaring penduduk yang sudah mengidap HIV tapi tidak menyadarinya. Penduduk yang terdeteksi HIV melalui klinik VCT ini akan didampingi dan dilakukan serangkaian tes, al. tes CD4, untuk mendeteksi kapan mereka harus meminum obat antiretroviral (ARV).

Tapi, klinik VCT bukan untuk pencegahan karena orang-orang yang datang ke klinik VCT sudah tertular HIV. Program ini di hilir. Maka, yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu yaitu mencegah agar tidak ada lagi yang tertular HIV.

Sayang, tidak ada program yang konkret untuk menanggulangi penularan HIV di hulu. Bahkan, di Perda AIDS DI Yogyakarta pun tidak ada program ril untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2011/01/15/perda-aids-yogyakarta-mengabaikan-praktek-pelacuran-di-‘sarkem’/ ).

Masih menurut Dewi: “Kita prihatin sekali karena setiap tahun jumlah penderita AIDS di Gunungkidul terus meningkat.” Dikabarkan sejak tahun 2005 sudah terdeteksi 57 kasus HIV/AIDS.

Sampai kapan pun angka laporan akan terus naik atau bertambah. Kasus-kasus yang terdeteksi tentulah sudah tertular jauh-jauh hari karena tes HIV dengan ELISA, misalnya, bisa akurat kalau sudah tertular di atas tiga bulan.

Yang jadi persoalan adalah langkah konkret untuk mencegah insiden infeksi HIV baru yang terus akan terjadi. Sayang, tidak ada program ril untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru di hulu.

Dikatakan, penularan AIDS sebagian besar berasal dari luar Gunungkidul yang penyebabnya berasal  dari hubungan intim.

Sekarang tidak saatnya lagi mencari kambing hitam karena HIV/AIDS sudah ada di masyarakat. Maka, langkah ril yang diharapkan dari Pemkab Gunung Kidul adalah ada program yang konkret berupa intervensi untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama melalui hubungan seksual dengan pekerja seks.

Celakanya, ada kesan daerah menganggap tidak ada pelacuran karena di daerah itu tidak ada lokalisasi pelacuran. Asumsi yang menyesatkan inilah yang membuat penyebaran HIV terus terjadi karena perilaku seksual berisiko terus terjadi. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun