Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pelacuran: Diregulasi Bukan Dilegalisasi

19 Agustus 2011   15:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:38 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PRD Bali Dorong Legalisasi Prostitusi. Kalau keberadaannya sembunyi-sembunyi, akan menyulitkan pengawasan dan memantau kesehatan.” Ini judul berita di VIVAnews (19/8-2011).

Jika benar DPRD Bali mendorong Pemprov Bali untuk melegalkan prostitusi atau pelacuran, maka hal itu merupakan terobosan terbesar di muka bumi ini karena tidak ada negara yang melegalkan pelacuran.

Jika dikaitkan dengan kesehatan masyarakat, maka pelacuran bukan di-LEGAL-kan atau LEGALISASI, tapi membuat REGULASI atau diatur agar bisa dijangkau.

Di lokalisasi pelacuran bisa diterapkan berbagai aturan secara konkret. Seperti yang dilakukan oleh Thailand dalam menurunkan insiden penularan HIV baru di kalangan laki-laki ’hidung belang’ adalah melalui program ’wajib kondom 100 persen’.

Prof Dr DN Wirawan, Ketua Yayasan Kerti Praja, Denpasar, Bali, sudah lama menjalankan program pendampingan terhadap pekerja seks komersial (PSK) sebagai upaya memutus mata rantai penyebaran IMS (infeksi menular seksual seperti sifilis, GO, virus hepatitis B, klamidia, dll.).

Setiap Jumat staf yayasan ’menjemput’ PSK untuk menjalani pemeriksaan dan pengobatan. Setelah berobat mereka menerima penyuluhan tentang cara-cara pencegahan IMS dan HIV/AIDS. PSK itu pun dibekali dengan kondom untuk ditawarkan kepada laki-laki yang akan mengencani mereka (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/10/05/menjemput-psk-di-denpasar-untuk-memutus-mata-rantai-penyebaran-penyakit/).

Seorang wartawan mendatangi Prof Wirawan. “Mengapa Bapak melindungi PSK?” Rupanya, wartawan itu mengetahui kegiayatan yayasan. Untunglah penjelasan Prof Wirawan bisa meredam amarah wartawan yang meliput dengan baju moral itu.

Disebutkan: ”Pemberantasan sarang atau kompleks wanita tuna susila  di kawasan Desa Sanur, Kota Denpasar, sangat sulit, karena keberadaannya menyatu dengan rumah-rumah penduduk setempat.”

Menurut Wakil Ketua Komisi IV DPRD Bali, Ketut Kariyasa Adnyana penduduk setempat seakan tutup mata keberadaan tersebut. Pelacuran kian rumit karena ada pandangan yang berbeda terkait dengan penanganan PSK (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/09/apriori-terhadap-pelacuran/).

Apakah benar pelacuran di daerah itu tidak bisa diberantas karena penduduk seakan menutup mata? Ini ironis karena lokasi pelacuran yang lain bisa dibumihanguskan pemerintah provinsi. Apakah bukan karena faktor sosial budaya sehingga pemerintah setempat tidak bisa menjangkau kawasan itu?

Disebutkan pula: “ .... Satpol Pamong Praja pun sudah sering diterjunkan ke wilayah tersebut, namun sangat sulit menjaring para wanita penghibur hidung belang yang menjajakan tubuhnya di kawasan itu.” Ini pernyataan yang tidak akurat karena PSK tidak menjajakan diri atau tubuh. Justru laki-laki ’hidung belang’ yang mencari mereka.

Menurut Kariyasa Adnyana: ” .... sebenarnya penanganan penyakit masyarakat ini sangat dilematis. Di satu sisi, ada 'pasar' WTS namun di sisi lain juga ada penyebaran penyakit menular seksual seperti HIV/AIDS.”

Persoalan bukan terletak pada PSK, tapi laki-laki ’hidung belang’. Kalau saja tidak ada laki-laki yang mencari PSK tentulah tidak ada PSK di sanaj.

Biar pun kegiatan pelacuran ditutup di kawasan itu tidak menjamin tidak akan ada praktek pelacuran. Yang selalu dituding sebagai ’penyakit masyarakat’ adalah PSK yang kssat mata, disebut PSK langsung.

Padahal, kegiatan pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung justru jauh lebih besar, seperti ’cewek kafe’, ’cewek SPG’, ’cewek disko’, ’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek panti pijat’, ’ibu rumah tangga’, dll. Di Kota Denpasar sendiri dikabarkan PSK tidak langsung, disebut juga PSK terselubung, menjadi persoalan pelik terkait dengan penyebaran HIV/AIDS (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/26/andil-psk-tidak-langsung-dalam-penyebaran-hiv-di-denpasar/).

Dikabarkan Kariyasa Adnyana memberi alternatif:” .... kalau ingin keberadaan WTS ini bisa diawasi harus dilegalkan, dengan demikian dari segi kesehatan para WTS bisa diawasi.” Ini menyesatkan karena apa pun alasannya pelacuran tidak bisa dilegalkan. Tidak ada negara yang melegalkan pelacuran, tapi membuat regulasi yaitu melokalisir pelacuran.

Ketua Dewan Pendidikan Denpasar, Putu Rumawan Salain, mengaku prihatin atas laporan banyaknya pelajar di Kota Denpasar yang mencari WTS. Ini tidak akan terjadi kalau ada lokalisasi pelacuran karena engunjung bisa dideteksi. Misalnya, ketika masuk lokalisasi harus menunjukkan KTP atau kartu identitas.

Pilihan ada di tangan Pemprov Bali dan DPRD Bali: membiarkan pelacuran merajalela tanpa bisa dikontrol atau melokalisir pelacuran agar bisa dikendalikan. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun