“Sulit bagi sekitar 200 pekerja seks komersial (PSK) lokalisasi Kaliwungu di Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, lepas dari kegiatan prostitusi, meski Pemkab Tulungagung telah menyiapkan serangkaian tahapan proses adaptasi sosial.” Ini lead berita “PSK Sulit Dilepas dari Kegiatan Prostitusi” di kompas.com (23/2-2012).
Hal itu dikemukakan oleh Ketua Pusat Studi Gender Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung, Zulfatun Ni'mah, berdasarkan pengamatan kualitatif.
Zulfatun lupa kalau di era Orba ada program resosialisasi PSK yang dilakukan oleh departemen sosial, sekarang disebut kementerian sosial. PSK dilatih berbagai keterampilan, seperti jahit-menjahit dan tata rias (salon). Hal ini dilakukan dengan harapan PSK akan meninggalkan ‘lembah hitam’.
Tapi, fakta menunjukkan program itu ’gatot’ alias gagal total karena menjadi pekerja seks merupakan pilihan bagi sebagian besar PSK. Penghasilan yang mereka peroleh sebagai PSK jauh lebih besar daripada bekerja sebagai penjahit atau penata rias.
Dikabarkan "Pemkab membuat seri proses selama sekitar enam bulan, dimulai dengan sosialisasi, pendampingan, pemberian modal kerja dan sarana kerja, disusul pendampingan lagi untuk pindah profesi lain.”
Nah, program itulah yang dilancarkan pada proyek resosialisasi di era Orba. Seperti dikatakan oleh Prof Dr Hotman M. Siahaan, sosiolog di Unair, Surabaya, resosialisasi tidak berhasil karena programnya top-down. Artinya, program itu merupakan proyek yang sama sekali tidak menjadi pilihan PSK (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/09/apriori-terhadap-pelacuran/).
PSK merupakan bagian dari kegiatan pelacuran yang melibatkan banyak pihak. Celakanya, semua terjadi tanpa regulasi sehingga yang berlaku adalah ‘hukum rimba’. Posisi tawar PSK sangat rendah jika berhadapan dengan germo atau preman.
Disebutkan bahwa survai yang dilakukan oleh LSM Cesmid tahun 2011 menunjukka ada sekitar 600 PSK di Tulungagung yang ’praktek’ di berbagai titik konsentrasi.
Karena upaya untuk ’mengeluarkan’ mereka dari kegiatan itu nyaris mustahil, maka kuncinya ada pada laki-laki ’hidung belang’. Kalau tidak ada laki-laki yang mendatangi PSK tentulah tidak terjadi pelacuran.
Sayang, Zulfatun sama sekali tidak menyinggung laki-laki terkait dengan pelacuran. Selain bias gender pendapat Zulfatun itu merupakan gambaran umum yang selalu menjadikan PSK sebagai ’kambing hitam’ prostitusi.
Menurut staf Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Tulungagung, Ifada Nurahmania, Pemkab Tulungagung sudah memutuskan unuk membubarkan kegiatan prostitusi di wilayah itu, yang juga merupakan kebijakan Pemprov Jatim.
Terkait dengan praktek pelacuran dan epidemi HIV penutupan atau pembubaran kegiatan pelacuran tidak akan menyelesaikan masalah karena praktek pelacuran terjadi di berbagai tempat dengan cara-cara yang khas.
Pemkab Tulungagung sendiri sudah menelurkan Perda No 25 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS, tapi sama seperti perda-perda sejenis yang sudah ada di Indonesia (ada 56 perda mulai tingkat provinsi, kabupaten dan kota, Perda AIDS Tulungagung merupakan yang ke-52) pasal-pasal pencegahan dan penanggulangan hanya bersifat normatif tidak konkret (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/07/29/peran-perda-aids-kab-tulungagung-dalam-menanggulangi-penyebaran-hiv/).
Karena kegiatan pelacuran di lokasi yang tidak diregulasi, maka tidak bisa diterapkan upaya untuk memutus mata rantai penyebaran penyakit, seperti IMS (sifilis, GO, herpes, hepatitis B, dll.) dan HIV, dari masyarakat ke PSK dan sebaliknya melalui laki-laki ’hidung belang’, maka di Denpasar ada lembaga yang menyingsingkan lengan baju untuk melindungi masyarakat dari IMS dan HIV.
Lembaga itu, Yayasan Kerti Praja, setiap Jumat menjemput PSK untuk diperiksa kesehatannya di klinik lembaga, membekali PSK dengan informasi seputar IMS dan HIV/AIDS, serta membekali mereka dengan kondom. Sayang, upaya yang dijalankan oleh Prof Dr DN Wirawan, ketua yayasan, ini justru diserang oleh wartawan.
Seorang wartawan menuding Prof Wirawan sebagai ’pelindung pelacur’. Untunglah Prof Wirawan tidak terpengaruh karena yang dilakukannya merupakan satu langkah kecil tapi merupakan lompatan besar dalam memutus mata rantai penyebaran IMS dan HIV (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/10/05/menjemput-psk-di-denpasar-untuk-memutus-mata-rantai-penyebaran-penyakit/).
Ada baiknya Zulfatun dan Pemkab Tulungagung melihatpendapat Prof Hotman dan pengalaman Prof Wirawan terkait dengan pelacuran.
Dengan 600 PSK maka setiap malam ada 1.800 laki-laki ’hidung belang’ yang berisiko tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus. Laki-laki itu dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, yang kelak akan menularkan IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus kepada istrinya jika dia tertular.
Kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga dan bayi menunjukkan ada laki-laki penduduk Tulungagung yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK. Dilaporkan kasus HIV/AIDS di Kab Tulungagung per Desember 2011 sebanyak 104.Tentu saja angka ini tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es (Lihat Gambar).
Jika tidak ada langkah konkret yang dijalankan Pemkab Tulungagung, maka penyebaran HIV kelak akan sampai pada ’ledakan AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H