”Tim Penanggulangan HIV/AIDS RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta mencatat kasus HIV/AIDS yang terjadi pada anak-anak di DIY, mengalami peningkatan sejak dua sampai tiga tahun terakhir. Setiap bulan rata-rata terdapat satu kasus baru HIV/AIDS pada anak.” Ini lead berita “Kasus HIV/AIDS Pada Anak di DIY Meningkat” (KRjogja.com, 26/2-2012).
Dikabarkan sampai akhir tahun KPA DIY mencatat kasus kumulatif HIV/AIDS pada anakusia 0-14 tahun sebanyak 77, dengan perincian 23 di bawah 1 tahun, 34 usia 1-4 tahun, dan 20 usia5-14 tahun.
Fakta yang ada di belakang informasi itu adalah: Suami yang menularkan HIV kepada istrinya bertambah terus!
Celakanya, tidak ada program yang konkret terkait dengan upaya untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa, khususnya melalui hubungan seksual.
Salah satu kendala untuk melakukan intervensi terhadap perilaku seksual yang tidak aman di dalam dan di luar nikah laki-laki dewasa (dilakukan tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks) adalah pengabaian terhadap (praktek) pelacuran.
Penguasa, tokoh masyarakat dantokoh agama di beberapa daerah di Indonesia menepuk dada karena di daerahnya tidak ada lokalisasi pelacuran. Mereka yakin bahwa di daerah mereka tidak ada (praktek) pelacuran karena tidak ada lokalisasi. Bahkan, ada beberapa daerah yang sudah menelerkan peraturan daerah (perda) anti maksiat atau anti pelacuran.
Asumsi itulah yang membuat penyebaran HIV melalui hubungan seksual terus terjadi karena hubungan seksual dilakukan tanpa kondom sehingga ada risiko tertular HIV.
Hal yang sama terjadi di DI Yogyakarta. Di Perda AIDS DI Yogyakarta, misalnya, pelacuran di Jalan Pasar Kembang (dikenal sebagai ‘sarkem’, di selatan Sta. KA Yogyakarta) di Kota Jogja, tidak diakui. Tidak ada pasal yang menyorot perilaku berisiko di perda itu (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2011/01/15/perda-aids-yogyakarta-mengabaikan-praktek-pelacuran-di-%E2%80%98sarkem%E2%80%99/ dan http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/01/intervensi-penanggulangan-aids-di-yogyakarta-tidak-menyentuh-akar-masalah/).
Menurut Panitia Tim Penanggulangan HIV/AIDS RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, dr. Sumardi, SpPD-KP, kebanyakan anak-anak tertular HIV/AIDS dari ibunya dan diketahui pada saat ibu melahirkan.
Jika ibu hamil baru terdeteksi mengidap HIV/AIDS pada saat persalinan, maka risiko penularan secara vertikal (dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya) berkisar antara 20-30 persen. Padahal, jika selama kehamilan diberikan obat antiretroviral (ARV), maka risiko penularan secara vertikal di bawah delapan persen.
Persoalan besar adalah tidak ada mekanisme untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil. Bandingkan dengan Malaysia yang sudah menjalankan survailans tes HIV secara rutin kepada perempuan hamil sehingga negara itu bisa menyelamatkan bayi dan mendukung perempuan-perempuan hamil.
Sayang, sama seperti perda-perda lain, Perda AIDS DI Yogyakarta dirancang dengan pijakan moral sehingga fakta-fakta terkait dengan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS diabaikan.
Kalau saja ada satu pasal yang mengatur survailans tes HIV pada perempuan hamil tentulah akan banyak bayi yang diselamatkan. Selanjutnya kian banyak pula kasus HIV/AIDS yang terdeteksi yang pada gilirannya merupakan upaya penanggulangan karena kasus-kasus yang terdeteksi merupakan pemutusan mata rantai penyebaran HIV.
Selama penanggulangan HIV/AIDS berpijak pada moral belaka, maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi. Salah satu indikatornya adalah kasus HIV/AIDS pada bayi dan anak-anak.
Bayi dan anak-anak itu tertular HIV dari ibunya secara vertikal ketika di kandunga, saat persalinan atau ketika menyusui dengan air susu ibu (ASI). Ibu mereka tertular HIV dari suami.
Nah, suami-suami itu tertular HIV karena perilaku mereka yang berisiko, al. melalui hubungan seksual yang tidak aman. Maka, tidak ada pilihan lain selain melakukan intevensi konkret terhadap perilaku seksual berisiko laki-laki dewasa.
Langkah konkret yang sudah terbukti berhasil dilakukan oleh Thailand melalui program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki dewasa pada hubungan seksual dengan pekerja seks di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.
Pekerja seks di ’Sarkem’ memang sudah ’dilatih’ untuk ’memaksa’ laki-laki memakai kondom, tapi banyak kendala karena posisi tawar pekerja seks sangat rendah. Untuk itu diperlukan regulasi agar posisi tawar pekerja seks bisa memaksa laki-laki memakai kondom ketika sanggama (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/06/11/duka-derita-psk-di-%E2%80%98sarkem%E2%80%99-yogyakarta/).
Persoalannya kegiatan pelacuran dianggap tidak ada karena tidak ada lokalisasi dalam bentuk resosialisasi yang langsung ditangani oleh pemerintah, dalam hal ini Kemensos, seperti pada masa Orde Baru. Lagi pula resosialisasi pekerja seks waktu itu pun hanya program top-down (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/09/apriori-terhadap-pelacuran/).
Kita boleh saja mengabaikan (praktek) pelacuran karena tidak ada resosialisasi yang ’resmi’, tapi yang perlu diingat adalah penyebaran HIV dari laki-laki ke pekerja seks dan dari pekerja seks ke laki-laki (akan) terus terjadi. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H