Dikabarkan untuk meminimalisasi penyebaran HIV/AIDS di Kota Makassar, Prov Sulawesi Selatan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Makassar mendesak Dinas Kesehatan Kota Makassar menjalin kerja sama dengan pengusaha tempat hiburan (Penyebaran HIV/AIDS - Dinkes Sulsel Diimbau Proaktif, www.seputar-indonesia.com, 3/2-2012).
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Makassar sampai Desember 2011 sudah dilaporkan sebanyak 4.018. Angka ini rupanya mulai mengusik berbagai kalangan, tapi tanggapan yang muncul tidak realistis sebagai upaya penanggulangan yang konkret.
Mengapa harus dijalin kerja sama dengan pengusaha hiburan? Rupanya, di tempat hiburan di Makassar ada pekerja seks komersial (PSK). Maka, “Kerja sama itu meliputi pemeriksaan PSK yang selama ini masuk daftar rawan mengidap HIV/AIDS.”
Lagi-lagi pijakan yang dipakai bukan fakta, tapi moral. Yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki dewasa, asli atau pendatang. Kemudian ada pula laki-laki lain yang tertular HIV dari PSK. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan yang tertular HIV dari PSK bisa sebagai seorang suami. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian terdeteksi kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga, yang berikutnya terdeteksi pula pada anak yang mereka lahirkan.
Disebutkan pula: “Pemantauan kesehatan ini diharapkan dapat menekan pertumbuhan pengidap penyakit yang melemahkan sistem kekebalan tubuh tersebut.” Untuk mendeteksi HIV secara akurat seseorang yang sudah tertular HIV harus sudah melewati masa jendela yaitu sudah tertular lebih dari tiga bulan (Lihat Gambar 1).
[caption id="attachment_163843" align="aligncenter" width="417" caption="Gambar 1"][/caption]
Kalau tes HIV kepada PSK dilakukan setiap bulan atau setiap tiga bulan, maka bisa saja ada PSK yang baru tertular malam sebelum darahnya diambil. Itu artinya masih pada masa jendelan sehingga hasil tes HIV bisa negatif palsu atau positif palsu.
Negatif palsu artinya hasil tes nonreaktif. Ini terjadi karena dalam darah belum ada antibody HIV (tes HIV mencari antibody HIV bukan virus HIV), padahal di darah sudah ada HIV. Kalau ini terjadi maka akan jadi bumerang karena PSK itu dianggap tidak mengidap HIV sehingga dia tetap melakukan praktek pelacuran sehingga ada risiko menularkan HIV kepada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan dirinya tanpa kondom.
Positif palsu artinya hasil tes reaktif. Ini terjadi karena reagent yang dipakai mendeteksi virus lain, padahal dalam darah belum ada HIV. Jika yang terdeteksi positif palsu diberikan hukuman atau sanksi, tentulah ini perbuatan yang melawan hokum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).
Wakil Ketua Komisi D DPRD Makassar, Hamzah Hamid, mengatakan berdasarkan laporan di Dinas Kesehatan (Dinkes) tahun lalu penyebaran HIV melalui hubungan seksual cenderung naik dan penularan melalui jarum suntik pada penyalahguna narkoba cenderung turun.
Tidak bisa dibuktikan apakah seorang penyalahguna narkoba dengan jarum suntik tertular melalui jarum suntik atau hubungan seksual. Soalnya, ada penyalahguna narkoba yang melakukan hubungan seksual berisiko sebelum dan selama memakai narkoba.
Disebutkan oleh Hamzah: “ …. karena selama ini pekerja pekerja seks pasti sangat sedikit yang mau memeriksakan diri ke rumah sakit atau puskesmas. Jadi, harus ada program Dinkes untuk jemput bola dan memutus mata rantai penyebaran.”
Biar pun kesehatan PSK diperiksa secara rutin, risiko tertular dan menularkan HIV tetap bisa terjadi antara jeda pemeriksaan. Yang menjadi mata rantai penyebaran HIV bukan PSK, tapi laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK.
Kalau Hamzah jeli yang diperlukan terkait dengan upaya memutus mata rantai penyebaran HIV adalah melakukan intervensi terhadap laki-laki ‘hidung belang’ agar memakai kondom jika sanggama dengan PSK. Jika ini tidak bisa dilakukan, maka langkah berikutinya adalah mengharuskan suami yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan PSK agar memakai kondom jika sanggama dengan istrinya. Langkah terakhir adalah menjalankan program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya (Lihat Gambar 2).
[caption id="attachment_163844" align="aligncenter" width="581" caption="Gambar 2"]
Di Denpasar, Bali, Yayasan Kerti Praja sudah lama menjalin kerja sama dengan PSK yaitu pemeriksaan kesehatan, khususya IMS, dan penyuluhan setiap hari Jumat. PSK dijemput oleh karyawan atau datang sendiri ke klinik.
Celakanya, upaya untuk memutus mata rantai penyebaran IMS dan HIV dari masyarakat ke PSK dan sebaliknya itu justru ’dihajar’ oleh seorang wartawan harian Ibu Kota. Wartawan itu menuding Prof Dr DN Wirawan, ketua yayasan, sebagai ’pelindung pelacur’ (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/10/05/menjemput-psk-di-denpasar-untuk-memutus-mata-rantai-penyebaran-penyakit/)
Kalaudi tempat-tempat hiburan yang ada di Kota Makassar tersedia PSK, mengapa praktek pelacuran tidak diregulasi saja dengan membuat lokalisasi pelacuran.
Thailand berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual di lokalisasi pelacuran melalui program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK. Pemantuan program itu bisa dilakukan secara konkret jika ada lokalisasi pelacuran.
Satu hal yang luput dari perhatian Pemkot Makassar dan DPRD Kota Makassar adalah peranan PSK tidak langsung sebagai faktor yang mendorong penyebaran HIV di Sulsel (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/18/aids-di-sulawesi-selatan-didorong-psk-tidak-langsung/).
Terkait dengan PSK sebagai salah satu faktor dalam epidemi HIV, maka diperlukan paradigma baru dalam penanggulangan HIV/AIDS (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/11/perlu-paradigma-baru-menanggulangi-aids/).
Mengatasi pelacuran dengan cara-cara semasa Orba yaitu melalui resosialisasi PSK tidak akan berhasil karena programnya top-down (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/09/apriori-terhadap-pelacuran/).
Selama Pemkot Makassar menutup mata terhadap praktek pelacuran karena tidak ada lokalisasi pelacuran, maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi. Selama ini Pemkot tidak panik karena ada dana dari donor asing untuk penanggulangan HIV/AIDS.
Untuk obat antiretroviral, misalnya, ada dana dari Global Fund. Jika dana ini tidak ada maka kocek APBD Makassar akan dirogoh untuk membeli obat ARV yaitu Rp 360.000/orang per bulan. Ini belum biaya obat penyakit lain, jasa dokter, biaya rawat inap, dll. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H