* Dinkes DI Yogyakarta tidak mempunyai mekanisme untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil
“Risiko penyakit HIV tidak hanya mengancam golongan pengguna narkoba suntik atau pun pekerja seks komersial. Kalangan ibu rumah tangga juga rentan tertular virus mematikan ini.” Ini lead berita ”Ratusan Ibu Rumah Tangga Mengidap HIV/AIDS” (suaramerdeka.com, 27/2-2012).
Dikabarkan di DI Yogyakarta sudah terdeteksi 126 ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS. Sedangkan balita dengan HIV/AIDS sudah terdeteksi pada 53 balita. Persoaalan HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga di DI Yogyakarta sudah lama mengemuka, tapi tidak ada langkah-langkah konkret (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2011/02/09/aids-pada-ibu-ibu-rumah-tangga-di-yogyakarta/ dan http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/01/intervensi-penanggulangan-aids-di-yogyakarta-tidak-menyentuh-akar-masalah/).
HIV adalah virus yang dalam jumlah yang bisa ditularkan hanya terdapat pada darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu (ASI). HIV tidak mengancam karena penularan hanya terjadi melalui cara-cara yang sangan khas, yaitu: (a) transfusi darah, (b) hubungan seksual di dalam dan di luar nikah, (c) jarum suntik, dan (d) menyusui.
Risiko penularan pada penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) terjadi kalau narkoba disuntikkan dengan jarum suntik yang dipakai secara bersama-sama dengan bergantian.
Sedangkan penularan HIV kepada pekerja seks komersial (PSK) justru dilakukan oleh laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom. Kemudian ada pula laki-laki dewasa lain yang tertular HIV dari PSK karena melakukan hubungan seksual tanpa kondom. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK bisa sebagai seorang suami.
Dalam kaitan inilah terjadi risiko penularan terhadap ibu-ibu rumah tangga melalui suami mereka, yaitu laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK atau laki-laki yang tertular HIV dari PSK.
Celakanya, dalam program penanggulangan HIV/AIDS, di DI Yogyakarta khususnya dan di Indonesia umumnya, realitas sosial ini luput dari perhatian. Di DI Yogyakarta, seperti di Kota Jogja, ada lokasi pelacuran di kawasan Jalan Pasar Kembang, dikenal dengan nama ’Sarkem’.
Penggunaan kondom sudah mulai dijalankan, tapi tetap saja banyak laki-laki yang menolak memakai kondom jika sanggama dengan PSK. Sebelum ’ngamar’ laki-laki mengatakan mau, tapi setelah di kamar menolak (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/06/11/duka-derita-psk-di-‘sarkem’-yogyakarta/).
Bertolak dari realitas sosial di ’Sarkem’ tentulah diperlukan regulasi yang bisa memaksa laki-laki ’hidung belang’ memakai kondom jika sanggama dengan PSK. Seperti yang dilakukan di Thailand program ’wajib kondom 100 persen’ di lokalisasi pelacuran menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa. Sayang, dalam Perda AIDS DI Yogyakarta ’Sarkem’ justru tidak menjadi bagian dalam program penanggulangan (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/19/tanggapan-terhadap-perda-aids-daerah-istimewa-yogyakarta/ dan http://sosbud.kompasiana.com/2011/01/15/perda-aids-yogyakarta-mengabaikan-praktek-pelacuran-di-‘sarkem’/).
Di lead berita disebutkan ’virus mematikan’. Tidak jelas apakah ini pernyataan wartawan atau redaktur koran itu atau kutipan dari narasumber. Yang jelas pernyataan itu ngawur karena sampai sekarang belum ada laporan kematian karena HIV. Kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi karena penyakit-penyakit lain yang muncul di masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertuar HIV), yang disebut sebagai infeksi oportunistik, seperti diare, ruam, sariawan, TBC, dll.
Disebutka pula: "Kasus HIV pada kaum istri ini umumnya disebabkan perilaku suami yang menyimpang.” Ini bahasa moral karena secara biologis semua cara melakukan hubungan seksual merupakan bagian dari pemenuhan hasrat seks.
Lagi pula penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (zina, melacur, seks pranikah, ’jajan’, ’seks menyimpang’, seks anal, dll.), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom ketika sanggama).
Menurut Pengelola Program KPA DI Yogyakarta, Ana Yuliastanti, untuk mengatasi penularan HIV kepada ibu-ibu rumah tangga dilakukan melalui dua tahap. Pertama, antisipasi penularan dari suami ke istri. Kedua, pencegahan risiko transmisi dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya.
Sayang, dalam berita tidak ada penjelasan langkah konkret yang dilakukan untuk menjalankan dua tahap.
Ana hanya mengatakan antisipasi pertama tentunya butuh kesadaran dari masing-masing individu untuk menjaga perilaku.
Persoalannya adalah:
(1) Bagaimana cara yang dilakukan agar laki-laki beristri tidak menularkan HIV kepada istrinya?
(2) Bagaimana cara mendeteksi HIV pada perempuan hamil?
Kalau hanya dengan penyuluhan tentulah hasilnya nol besar karena materi penyuluhan juga tidak akurat karena informasi HIV/AIDS dibalut dengan moral sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah).
Program konkret untuk mencegah penularan HIV dari suami ke istri adalah melalui intervensi yaitu: (a) mengharuskan suami memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK; atau (b) mengharuskan suami memakai kondom jika sanggama dengan istrinya kalau suami itu sering melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK.
Sedangkan cara untuk mendeteksi HIV pada perempuan hamil adalah dengan menjalankan survailans tes HIV rutin terhadap perempuan hamil. Ini sudah lama dijalankan oleh Malaysia. Tentu saja diperlukan perangkat hukum agar ada kekuatan untuk meminta perempuan hamil menjalani tes HIV sesuai dengan standar tes HIV yang baku.
Dengan 126 ibu rumah tangga yang terdeteksi HIV/AIDS, maka sudah ada pula 126 laki-laki dewasa yang mengidap HIV. Kalau suami-suami ini mempunyai istri atau pasangan seks lebih dari satu, maka jumlah perempuan yang mengidap HIV kian banyak.
Itulah mata rantai penyebaran HIV yang luput dari perhatian. Jika Pemprov DI Yogyakarta tidak segera melakukan penanggulangan yang konkret, maka penyebaranHIV/AIDS di DI Yogyakarta akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H