Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Lie Detector di Sidang Pengadilan Tipikor

22 Februari 2012   07:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:20 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Tidak ingat, Yang Mulia.” “Lupa, Yang Mulia.” Danbeberapa jawaban yang mencla-mencle. Inilah jawaban dari terdakwa dan saksi di Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) Jakarta.

Lihat saja jawaban saksi, Menpora Dr Andi Mallarangeng, dengan terdakwa M Nazaruddin di Pengadilan Tipikor Jakarta (22/2-2012) ini.

Hakim: Apakah Sdr. Terdakwa mengatakan pada pertemuan itu bahwa sertifikat Hambalang sudah beres?

Menpora: Karena saya sudah tahu sebelumnya tentang sertifikat itu dari staf saya, maka informasi itu tidak penting bagi saya.... dst. ......

Padahal, pertanyaan Bu Hakim itu adalah jelas sebagai ’kalimat tanya’ (question mark) yang hanya bisa dijawab dengan: YA atau TIDAK.

Maka, jawaban Menpora yang ngalor-ngidul itu pun jelas tidak merupakan jawaban dari pertanyaan Bu Hakim sebagai kalimat tanya. Jawaban itu adalah narasi untuk mengalihkan fakta terkait dengan pertanyaan Bu Hakim.

Sayang, Bu Hakim yang memimpin sidang itu tidak meminta saksi agar menjawab YA atau TIDAK. Kalau saja Bu Hakim tegas tentulah jawaban yang diharapkan dari saksi hanya YA atau TIDAK.

Dari jawaban itulah kemudian akan meluncur pertanyaan:

Apa kaitan Sdr Terdakwa dengan sertifikat Hambang?

Pertanyaan itu akan menguak apa maksud kehadiran terdakwa pada pertemuan itu karena dia bukan anggota ’rombangan’ yang datang untuk bersilaturrahim ke kantor Menpora itu.

Para penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim dan pengacara pun perlu juga dilatih untuk memakai ’kalimat tanya’, tentu saja terutama wartawan. Kita bisa simak talk show di televisi. Host justru memberikan pernyataan yang dijawab narasumber dengan: YA, TIDAK, dst.

Salah satu kelemahan bangsa kita adalah kesulitan membuat kalimat tanya!

Tapi, jawaban saksi yang ngalor-ngidul itu pun sudah menyuratkan terdakwa memang memberitahu Menpora tentang sertifikat Hambalang yang sudah klar.

Jawaban yang ngalor-ngidul tentang pernyataan terdakwa pada pertemuan dengan Anggota Komisi X DPR RI di Kantor Menpora tentulah disengaja untuk menutupi materi yang dibicarakan di pertemuan itu.

Ketika saksi ditanya mengapa terdakwa yang bukan Anggota Komisi X diperkenankan masuk, jawaban saksi juga sangat normatif: Karena pertemuan silaturrahim. Padahal, itu ruang dinas di kementerian negara.

Biar pun silaturrahim tentulah ada alasan di balik izin bagi terdakwa untuk mengikuti pertemuan di ruangan itu. Tapi, lagi-lagi saksi memberikan jawaban yang normatif tentang pertemuan itu.

Sayang, Bu Hakim tidak mengejar siapa yang memberitahu Menpora bahwa akan ada Anggota Komisi X yang akan berkunjung ke kantornya.

Hal yang sama terjadi pada saksi Angelina Sondakh pada perkara yang sama. Jawaban juga selalu mengatakan ’tidak tahu’, ’tidak kenal’, ’tidak ingat’, dll. Bahkan, Angelina mengaku tidak memiliki BB.

Kita tidak tahu persis apakah jawaban saksi-saksi itu benar, sehingga diperlukan alat bantu untuk menguji jawaban mereka, yaitu: lie detector (alat deteksi kebohongan).

Jangankan hanya sumpah di bawah kita suci, sumpah pocong pun tidak pernah lagi ditakuti orang. Lagi pula belum ada fakta bahwa orang yang sudah disumpah di bawah kitab suci akan langsung celaka jika berbohong.

Kitab suci sendiri menjadi suci karena diyakini oleh pemeluknya sebagai kitab yang berisi firman Tuhan. Secara empiris tidak ada kaitan langsung antara bersumpah di bawah kita suci dengan ketaatan untuk berkata jujur.

Jika jawaban terdakwa dan saksi yang sudah disumpuah di bawah kita suci ternyata tidak benar, tentulah berdampak pada kesucian kita suci itu. Saolnya, tidak ada akibat (buruk) yang langsung terjadi terhadap orang-orang yang melanggar sumpah di bawah kita suci.

Untuk itulah perlu dipikirkan agar di sidang Pengadilan Tipikor ada alat lie detector. Kesaksian merupakan salah satu alat bukti sehingga sangat berperan dalam keputusan hakim. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun