Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Natuna, Kepri, Persinggahan ’Pelancong AIDS’

20 Februari 2012   02:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:27 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tercatat 18 kasus HIVAIDS terdeteksi pada pasien yang berobat di rumah sakit umum daerah (RSUD) Natuna, Kepulauan Riau, dan 13 kantong darah yang terkontaminasi HIV hasil skrining Dinas Kesehatan Natuna.

Kondisi itu rupanya membuat banyak kalangan di Natuna gerah. Lihat saja pernyataan Wakil Ketua Komisi II DPRD Natuna, Raja Marzuni, ini: Pemkab Natuna harus menerapkan Perda Pekat yang sudah diatur, terkait maraknya kasus HIV/AIDS di Natuna yang merupakan lalu lintas pelayaran internasional (Dewan: Terapkan Perda Pekat Hambat HIV/AIDS, antara kepri, 17/2-2012).

Jika yang dimaksud Marzuni ‘penyakit masyarakat’ (pekat) adalah pelacuran, maka ada fakta yang selalu diabaikan yaitu:

Kemungkinan pertama, pekerja seks komersial (PSK) yang mengidap HIV/AIDS di Natuna justru ditulari oleh laki-laki dewasa lokal, pendatang atau wisatawan. Jika ini yang terjadi, mak adi Natuna sudah ada laki-laki yang mengidap HIV tapi tidak terdeteksi. Kemudian ada pula laki-laki lain yang tertular HIV dari PSK karena melakukan hubungan seksual tana kondom.

Kemungkina kedua, PSK tsb. sudah mengidap HIV/AIDS ketika ‘praktek’ di Natuna. Kalau ini yang terjadi, maka laki-laki dewasa lokal berisiko tertular HIV jika sanggama dengan PSK tanpa kondom.

Lagi pula biar pun ada Perda Pekat bisa saja penduduk Natuna tertular HIV di luar Natuna. Penduduk Natuna yang tertular HIV di luar Natuna akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di Natuna, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Menurut Marzuni, jika pemerintah tidak tegas menangani, salah satunya menangani tempat-tempat hiburan karena kemungkinan virus tersebut dari tempat-tempat seperti itu.

Seperti yang dikemukakan di atas virus (HIV) dibawa oleh laki-laki ke tempat-tempat hiburan. Artinya, laki-lakilah yang menyebarkan HIV kepada pekerja di tempat-tempat hiburan yang meladeni tamu untuk melakukan hubungan seksual.

Laki-laki yang membawa HIV ke tempat-tempat hiburan bisa saja penduduk lokal, asli atau pendatang, pelancong, atau anak buah kapal (ABK).

Salah satu langkah konkret yang bisa dilakukan Pemkab Natuna adalah membuat aturan berupa larangan masuk ke tempat-tempat hiburan bagi laki-laki pemegang KTP Natuna.

Marzuni juga mengatakan: “ …. apalagi temuan sejumlah kasus darah dari donor darah yang terinfeksi HIV/AIDS, itu orang yang mendonor harus didata, kalau perlu dicari agar tidak merebak."

Agaknya, Marzuni tidak memahami skrining di PMI. Yang diskrining adalah darah donor bukan donor darah. Skrining dilakukan secara unlinked anonymous. Artinya, pemilik darah tidak diindentifikasi. Hal ini diperlukan agar orang tidak takut menjadi donor darah.

Mencari donor yang darahnya terdeteksi mengidap HIV merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).Ketika mendonorkan darah donor tidak menerima konseling (bimbingan) tentang HIV/AIDS. Donor pun tidak menyatakan persetujuan secara tertulis (informed consent) untuk menjalani tes HIV.

Di masyarakat masih banyak penduduk yang mengdap HIV tapi tidak terdeteksi. Mereka inilah yang menyebarkan HIV di masyarakat tanpa mereka sadari.Yang diperlukan adalah regulasi, berupa peraturan, untuk mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat. Misalnya, survailans tes HIV terhadap pasien-pasien IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, virus hepatitis B, klamidia, dll.), penyalahguna narkoba, TBC, dan perempuan hamil.

Pemprov Kepri pun sudah menjalankan Perda No 15 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS di Provinsi Kepulauan Riau. Tapi, sama seperti perda sejenis yang sudah ada di Indonesia perda ini pun tidak bisa ’jalan’ untuk menanggulangi HIV/AIDS karena pasal-pasal yang ditawarkan hanya bersifat normatif (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/11/24/menakar-efektivitas-perda-aids-provinsi-kepulauan-riau/).

Disebutkan pula: ”Disinyalir keberadaan kapal-kapal asing ini turut memiliki andil penyebaran penyakit mematikan ini.”

HIV/AIDS bukan penyakit mematikan karena belum ada kasus kematian karena HIV/AIDS. Yang mematikan pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) adalah penyakit yang muncul di masa AIDS (setelah tertular antara 5-15 tahun), disebut infeksi oportunistik, seperti diare, sariawan, jamur, dan TBC.

Wacana untuk melokalisir pelacuran di Natuna ditolak. Celakanya, praktek pelacuran terus terjadi tanpa bisa dikontrol. Pemerintah Kota Tangerang, Prov Banten, yang sudah menerapkan Perda Pelarangan Pelacuran No 8 Seri E Tahun 2005 tetap saja tidak bisa menghapus (praktek) pelacuran (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/07/28/penyangkalan-aids-tertular-di-luar-daerah/).

Pilihan ada di tangan Pemkab Natuna dan DPRD Natuna: membiarkan pratek pelacuran menyebar dengan risiko menjadi jembatan penularan HIV atau melokalisir pelacuran agar bisa diawasi.

Laki-laki dari Singuara dan Malaysia, banyak di antaranya ‘apek-apek’ atau Cina tua, mencari hiburan berupa hubungan seksual di beberapa tempat di Kepri, seperti di Batam dan Natuna. Pemerintah Singapura sendiri meminta agar istri yang suaminya bekerja atau melancong ke Kepri menjalani tes HIV.

Tarif’wisata cinta’ ke Kepri jauh lebih murah daripada membayar PSK di Singapura dan Malaysia. Mereka biasanya datang Jumat sore dan pulang hari minggu sore. Paket ’wisata cinta’ termasuk hotel dan ’cewek’.

Dampak dari ’wisata cinta’ ini menempatkan Batam sebagai ’pintu masuk’ penyebaran HIV/AIDS ke Indonesia karena bisa saja pelancong menyebarkan HIV/AIDS kepada PSK di Natuna. Selanjutnya, PSK yang tertular HIV akan menularkan HIV kepada laki-laki lokal. Sedangkan PSK yang ’mudik’ akan menularkan HIV pula kepada suami atau pelanggannnya di kampung halamannya (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/07/batam-bisa-jadi-%E2%80%9Dpintu-masuk%E2%80%9D-epidemi-hivaids-nasional/).

Kalau tidak ada intervensi Pemkab Natuna untuk memutus mata rantai penyebaran HJIV dengan cara-cara yang konkret, maka penyebaran HIV di Natuna akan terus terjadi.

Penyebaran HIV/AIDS antar penduduk yang terus terjadi akan dapat dilihat (kelak) pada kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada pasien-pasien infeksi oportunistik,ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun