Lagi-lagi penyebaran HIV/AIDS di Bali menjadikan kafe remang-remang sebagai ‘kambing hitam’. Disebutkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Prov Bali, dr. Nyoman Sutedja:menjamurnya kafe remang di seluruh kabupaten/kota di Bali turut andil membengkaknya jumlah kasus HIV/AIDS. Pasalnya, tidak sedikit dari pelayan kafe itu juga nyambi sebagai pekerja seks komersial yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS untuk selanjutnya menularkannya kepada para pelanggannya (Kafe Remang Menjamur, Penderita HIV Meningkat. Jumlah penderita HIV/AIDS di Bali mencapai 4.552 orang atau peringkat lima nasional, VIVAnews, 15/8-2011).
Risiko tertular HIV melalui hubungan seksual antara laki-laki dewasa lokal, asli atau pendatang, dengan pelayan kafe yang disebut nyambi sebagai PSK terjadi karena laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama dengan pelayan kafe (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/03/22/aids-di-buleleng-bali-kafe-remang-remang-jadi-%E2%80%98kambing-hitam%E2%80%99/, dan http://regional.kompasiana.com/2011/07/26/aids-di-kab-jembrana-bali-%E2%80%98cewek-kafe%E2%80%99-sebagai-%E2%80%98kambing-hitam%E2%80%99/ ).
Fakta itulah yang luput dari perhatian karena HIV/AIDS dibicarakan dengan pijakan moral. Biar pun di Bali tidak ada kafe yang menyediakan pelayan yang nyambi sebagai PSK risiko tertular HIV pada laki-laki dewasa penduduk Bali bisa saja terjadi di luar Bali atau di luar negeri.
Coba lihat Arab Saudi yang menerapkan agama sebagai UU sehingga secara de jure tidak ada pelacuran dan hiburan malam tetap saja terdeteksi kasus HIV/AIDS pada warga negeranya. Negeri itu sudah melaporkan lebih dari 15.000 kasus AIDS.
Dengan mengaitkan langsung pelayan kafe remang-remang dengan penyebaran HIV mengesankan yang menjadi penyebar HIV adalah pelayan kafe. Padahal, ada kemungkinan HIV pada pelayan kafe justru ditularkan oleh laki-laki dewasa penduduk lokal.
Pertanyaannya adalah: Sejak kapan ada kafe remang-remang yang menyediakan pelayan yang nyambi sebagai PSK di Bali?
Waktu kafe remang muncul terkait dengan penyebaran HIV.Jika kasus HIV-positif pada seseorang terdeteksi pada masa AIDS maka ybs. sudah tertular antara 5-15 tahun sebelumnya. Laporan kasus kumulatif HIV/AIDS yang dikeluarkan oleh Ditjen PPM & PL, Depkes tahun 1995 menunjukkan di Bali sudah dilapokan 22 HIV dan 11 AIDS. Ini berarti penularan HIV pada kasus AIDS terjadi antara tahun 1980 dan tahun 1990. Nah, apakah pada tahun ini sudah ada kafe remang-remang di Bali?
Apakah selama ini di Bal tidak ada (praktek) pelacuran biar pun tidak ada lokalisasi pelacuran?
Yang dikhawatirkan adalah karena lokalisasi pelacuran tidak ada lagi yang kasat mata di Bali ada anggapan bahwa di Bali tidak ada praktek pelacuran.
Selain itu praktek pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung yaitu ‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘pelayan cafe’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll. Justru luput dari perhatian karena kegaitan mereka tidak kasat mata. Padahal, PSK tidak langsung bisa menjadi mata rantai penyebaran HIV yang sangat potensial. Di Denpasar, misalnya, dikabarkan PSK tidak langsung menjadi pemicu penyebaran HIV di sana (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/26/andil-psk-tidak-langsung-dalam-penyebaran-hiv-di-denpasar/).
Menurut Sutedja, kasus HIV/AIDS baru banyak terdeteksi diperkirakan karena tingkat kesadaran masyarakat untuk mengikuti tes HIV sukarela dengan konseling (voluntary counseling test/VCT) sudah meningkat. Jika ini yang terjadi maka kasus demi kasus akan terdeteksi yang menjadi langkah konkret untuk memutus mata rantai penyebaran HIV. Soalnya, satu kasus terdeteksi maka 1 mata ranta penyebaran HIV diputus.
Disebutkan pula: ”Sebelumnya, mereka terkesan tidak mau memeriksakan diri lantaran penderita HIV/AIDS masih menjadi stigma miring di masyarakat. Bisa jadi, kasus HIV/AIDS pada tahun-tahun sebelumnya sudah tinggi tapi tidak terdeteksi karena banyak penderita yang tidak mau memeriksakan diri dengan berbagai alasan.”
Yang terjadi adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda khas AIDS pada fisik mereka. Untuk itulah penyuluhan HIV/AIDS harus terus dilakukan secara luas dan menyeluruh tapi dengan materi yang akurat tidak dibumbui dengan norma, moral dan agama.
Siapa, sih, yang dianjurkan melakukan tes HIV secara sukarela? Mereka adalah:
(a). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di Bali atau di luar Bali.
(b). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewel kafe’, ’cewek pemijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG;, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di Bali atau di luar Bali.
Jika kasus banyak yang terdeteksi tidak perlu risau karena kondisi itu justru membawa angin segar bagi upaya penanggulangan HIV/AIDS karena kian banyak mata rantai penyebaran HIV yang diputus. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H