"Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) menemukan pasangan suami istri (pasutri) yang terjangkit HIV/AIDS.” (KPA PPU Temukan Pasutri Mengidap HIV/AIDS, tribunnews.com, 3/2-2012).
Kasus kumulatif HIV/AIDS di PPU (Prov Kalimantan Timur) mencapai 19, tiga di antaranya sudah pergi ke luar dari PPU.
Dikabarkan bahwa istri dari pasangan itu tertular HIV dari suaminya. Ini membuktikan bahwa ada suami yang melakukan perilaku berisiko yaitu melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), waria dan perempuan pelaku kawin-cerai.
Fakta itulah yang sering luput dari perhatian sehingga tidak ada intervensi terhadap laki-laki dewasa yang melakukan perilaku berisiko. Thailand bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui faktor risiko (mode of transmission) hubungan seksual di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Program yang dijalankan Negeri Gajah Putih itu adalah ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Program itu tidak diadopsi secara utuh sehingga penyebaran HIV yang dilakukan laki-laki dewasa terus terjadi. Yang perlu diingat adalah:
1). Penularan HIV kepada PSK dilakukan oleh laki-laki lokal. Ini menunjukkan laki-laki lokal ada yang mengidap HIV. Kemudian ada laki-laki lain yang tertular HIV dari PSK yang sudah tertular HIV.
2). PSK yang beroperasi di PPU sudah mengidap HIV sehingga ada laki-laki lain yang tertular HIV dari PSK.
Di masyarakat penyebaran HIV dilakukan oleh laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK. Buktinya dapat dilihat dari kasus pasutri tadi.
Jika di PPU ada praktek pelacuran, baik di lokasi atau lokalisasi, warung remang-remang, losmen, hotel melati dan hotel berbintang maka penyebaran HIV akan terjadi karena tidak ada jaminan tidak akan ada laki-laki lokal yang melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Yang perlu dipertanyakan adalah tiga pengidap HIV/AIDS yang disebutkan sudah meninggalkan PPU. Apakah mereka itu PSK? Atau, apakah mereka laki-laki?
Kalau tiga pengidap HIV/AIDS itu PSK, maka sudah ada laki-laki penduduk PPU yang berisiko tertular HIV, yaitu laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tsb.
Jika mereka itu laki-laki, maka bisa jadi mereka pun mempunyai passangan seks selain istrinya. Ini juga menjadi mata rantai penyebaran HIV.
Sayang, dalam peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS Prov Kaltim tidak ada langkah-langkah konret yang ditawarkan (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/02/26/sepak-terjang-perda-aids-prov-kalimantan-timur/).
Langkah konkret yang bisa dilakukan Pemkab PPU adalah menjalankan progaram survailans tes HIV kepada perempuan hamil. Jika ada satu perempuan hamil terdeteksi HIV, maka ada satu laki-laki yaitu suami perempuan itu yang mengidap HIV/AIDS.
Selain itu jika ada perempuan hamil terdeteksi HIV, maka bisa dilakukan program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Ini memutus mata rantai penyebaran HIV sehingga kelak tidak ada lagi bayi yang lahir dengan HIV/AIDS.
Tanpa langkah yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di PPU. Pada gilirannya akan terjadi ’ledakan AIDS’ yang kelak menjadi beban Pemkab PPU. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H