Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

AIDS pada Anak-anak dan Balita di NTT Menggambarkan Perilaku (Seksual) Ayah Mereka

2 Februari 2012   00:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:10 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

44 balita NTT positif HIV/AIDS (ANTARA News, 30/1-2012), Duh, 44 Balita di NTT Positif HIV/AIDS (metrotvnews.com, 30/1-2012), dan Mengenaskan, Puluhan Balita NTT Positif HIV/AIDS (republika.co.id, 30/1-2012).

Itulah judul berita di tiga media yaitu Antara, Metrotvnews, dan Republika. Tiga judul itu tidak menggambarkan penyebaran HIV.Fakta di balik kasus HIV/AIDS yang tedeteksi pada 44 balita itu adalah ibu mereka tertular HIV dari ayah mereka. Ayah mereka tertular HIV dari perempuan, waria atau laki-laki lain yang menjadi pasangan seks suami-suami itu.

Ternyata tidak hanya 44 balita, tapi juga ada 25 anak-anak berumur 6-10 tahun yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Anak-anak ini pun tertular HIV dari ibu mereka. Ibu mereka pun tertular HIV dari suami.

Dalam berita disebutkan: “ .... dinyatakan positif terserang penyakit yang mematikan ....” (antaranews). Pernyataan ini menunjukkan pemahaman wartawan yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) terjadi karena penyakit-penyakit yang muncul pada masa AIDS, disebut infeksi oportunistik, seperti ruam, jamur, diare, TBC, dll. Penyakit-penyakit ini mudah diidap Odha karena sistem kekebalan mereka sudah rendah yaitu jumlah sel-sel darah putih yang kian sedikit. Ini terjadi karena HIV terus menggandakan diri di sel-sel darah putih. Sel-sel darah putih yang menjadi ’pabrik’ penggandaan HIV rusak. Sedangkan HIV yang baru diproduksi kembali mencari sel darah putih untuk menggandakan diri. Begitu seterusnya sampai masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun).

Menurut Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT), dr. Husein Pancratius, data anak dan balita dengan HIV/AIDS itu diketahui setelah ayah mereka meninggal karena penyakit yang terkait dengan HIV/AIDS. Tes terhadap ibu mereka juga menunjukkan HIV-positif.

Dari data balita dan anak yang mengidap HIV/AIDS itu saja sudah ada 207 penduduk NTT yang mengidap HIV [132 = (44 balita + 44 ibu balita + 44 ayah balita) + 75 = (25 anak-anak + 25 ibu anak-anak + 25 ayah anak-anak)].

Menurut Husein: "Balita dan anak-anak bukan bagian dari kelompok beresiko tetapi mereka adalah korban dari tindakan orang tua yang tidak melakukan pencegahan."

Husein benar karena perilaku suami-suami itulah yang menyebabkan penularan HIV secara horizontal kepada istri dan penularan HIV vertikal dari istri ke anak.

Sayang, karena moral selalu dijadikan sebagai pijakan dalam penanggulangan HIV/AIDS, maka dalam berita tidak muncul cara yang konkret untuk mencegah penularan HIV dari suami kepada istri dan dari ibu-ke-anak yang mereka kandung. Upaya untuk memutus mata rantai penularan HIV dari-ibu-ke-bayi pun tidak ada dalam perda (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/02/28/menyikapi-kasus-hivaids-pada-balita-di-prov-ntt/).

Bahkan, dalam peraturan daerah (Perda) No 3/2007 tentang penanggulangan HIV/AIDS juga tidak ada mekanisme yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS dengan faktor risiko (mode of transmission) hubungan seksual dan perinatal (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/22/mengukur-peran-perda-penanggulangan-aids-ntt/).

Disebutkan: ” ....para orang tua baik ayah maupun ibu untuk sama-sama melakukan pemeriksaan dini untuk mengetahui apakah ada gejala yang mengarah pada HIV/AIDS atau tidak untuk dilakukan pencegahan.”

Persoalannya adalah: Siapa, sih, yang harus menjalani tes HIV? Sayang, dalam berita sama sekali tidak disebutkan siapa-(siapa) saja yang harus tes HIV. Begitulah yang terjadi. Perda AIDS NTT itu tidak menyentuh akar persoalan (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/05/29/perda-aids-kab-tts-ntt-tidak-ada-cara-pencegahan-yang-konkret/).

Kalau saja Perda AIDS itu dirancang dengan pijakan fakta medis tentulah perda itu akan berguna dalam menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di NTT.

Salah satu hal yang perlu ditanggulangi adalah risiko penularan HIV kepada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, di NTT atau di luar NTT.

Biar pun di NTT tidak ada lokalisasi pelacuran, tapi itu tidak jaminan kalau di NTT tidak ada praktek pelacuran yang bisa saja terjadi di rumah, kos-kosan, kontrakan, penginapan, losmen, hotel melati, hotel berbintang, taman, dan di sembarang tempat.

Agaknya, penguasa, pemuka agama dan tokoh masyarakat di daerah-daerah yang tidak ada lokalisasi atau lokasi pelacuran menganggap daerahnya bebas dari (praktek) pelacuran. Anggapan ini salah besar karena (praktek) pelacuran terjadi di mana-mana.

Kasus HIV/AIDS pada anak-anak dan balita menunjukkan (praktek) pelacuran terjadi di NTT. Bisa juga laki-laki ’hidung belang’ penduduk NTT tertular HIV di luar NTT, tapi itu semua terjadi karena perilaku seksual laki-laki ’hidung belang’ penduduk NTT.

Untuk itulah perlu program ‘wajib kondom’ bagi laki-laki ‘hidung belang’ jika melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung atau PSK tidak langsung di NTT atau di luar NTT.

Tanpa program ‘wajib kondom’, maka penyebaran HIV secara horizontal dari suami (laki-laki) ke istri (perempuan) akan terus terjadi. Pemprov NTT tinggal menunggu waktu untuk ‘panen AIDS’ karena kasus-kasus yang tidak terdeteksi kelak akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun