”Selama kurun tahun 2010-2011, 27 orang di Bumi Sukowati meninggal akibat HIV/AIDS.” (PENGIDAP HIV/AIDS: Warga Sragen Meninggal Akibat HIV/AIDS, Solo Pos, 22/1-2012). Pernyataan ini tidak akurat karena kematian orang-orang yang mengidap HIV/AIDSterjadi karena penyakit lain, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TBC, dll. Belum ada laporan kematian karena HIV atau AIDS atau HIV/AIDS.
Kalau saja narasumber berita dan wartawan yang menulis berita melihat kematian sebagai realitas terkait epidemi HIV, maka berita akan membuka mata masyarakat tentang penyebaran HIV di Sragen.
Seorang Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang meninggal terjadi pada masa AIDS.Artinya, mereka sudah tertular HIV antara 5-15 tahun. Pada rentang waktu itu mereka tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV/AIDS karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka. Tapi, mereka sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain, tertutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Jika dirunut ke belakang, maka 27 penduduk Sragen yang meninggal pada tahun 2010-2011 itu tertular HIV antara tahun 1995 dan 2005. Jika ada di antara 27 yang meninggal itu mempunyai istri, maka istrinya berisiko tertular HIV. Kalau istrinya tertular HIV, maka ada pula risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya.
Realitas itulah yang tidak muncul dalam berita sehingga masyarakat tidak melihat kaitan antara kematian seorang Odha dengan penyebaran HIV.
Dalam berita disebutkan F, 33 tahun, warga Sambirejo, Sragen meninggal di RSUD Dr Moewardi Solo, Jumat (20/1). Sayang, dalam berita tidak dijelaskan faktor risiko (mode of transmission) yang dialami F.
Kabid Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Sragen, Joko Puryanto, berharap keluarga korban lebih terbuka kepada tim kesehatan. Menurutnya, kendati cara-cara penularan HIV/AIDS tidak mudah, namun sebagai antisipasi, ada baiknya jika anggota keluarga korban memeriksakan diri lebih dini.
Pernyataan Joko ini bias menimbulkan beragam pandagnan di masyarakat karena terkesan F menularkan HIV kepada keluarganya. Kalau F seorang suami atau istri, maka bisa jadi dia menularkan HIV kepada istri atau suaminya. Tapi, dalam berita tidak ada penjelasan tentang jati diri F.
Anjuran Joko itu pun bisa menimbulkan penafsiran yang salah di masyarakat. Terkesan kalau dalam satu keluarga ada yang terdeteksi HIV, maka semua anggota keluarga itu berisiko tertular HIV. Ini menyesatkan karena HIV tidak menular melalui kehidupan sosial sehari-hari, seperti berbicara, bersalaman, makan bersama, dll.
Informasi tentang F disebutkan bekerja di salah satu salon di Jogja. Bekerja di salon bisa sebagai administrasi atau keuangan.
Disebutkan oleh Joko bahwa upaya meminimalisasi penularan tim dari DKK Sragen akan rutin melakukan penyuluhan serta melakukan screening atau mengambil dan memeriksa sampel darah orang-orang di tempat-tempat lokalisasi di Sragen, setiap enam bulan sekali.
Yang perlu diperhatikan adalah yang menularkan HIV kepada pekerja seks komersial (PSK) justru laki-laki dewasa yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, duda atau remaja. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyakat.
Jika PSK menjalani survailans tes HIV setiap enam bulan, maka selama enam bulan seorang PSK sudah meladeni ratusan laki-laki ’hidung belang’.
Maka, yang perlu dilakukan DKK Sragen adalah penyuluhan yang konsisten dengan materi HIV/AIDS yang konkret sebagai fakta medis.
Selama informasi HIV/AIDS dibalut dengan moral, maka selama itu pula masyarakat tidak bisa mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan yang konkret. Akibatnya, penyebaran HIV terus terjadi dan tinggal menunggu waktu saja untuk ’ledakan AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H