Jumlah kantong darah donor yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS di Unit Transfusi Darah (UTD), PMI Solo, Jawa Tengah, sepanjang tahu 2011 dikabarkan meningkat 5-10 persen jika dibadingkan dengan tahun 2010 (Darah yang Terinfeksi HIV/AIDS di Solo Meningkat, okezone.com, 13/1-2012).
Sepanjang tahun 2011 ada 79 kantong darah yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Data ini menunjukkan kasus HIV/AIDS di Solo terkait dengan fenomena gunung es. Artinya, kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Solo mencapai 656 pada Oktober 2011 (puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut), tidak menggambarkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut(Lihat Gambar 1).Kasus yang tidak terdeteksi itu al. adalah pada penduduk yang menjadi donor darah di PMI Solo. Di UTD PMI yang diskrining (dites) adalah darah donor bukan donor darah sehingga hasil skrining HIV terhadap darah donor tidak boleh diberitahu kepada donor (unlinked anonymous).
Bertolak dari kasus di UTD PMI ini sudah saatnya Pemkot Solo meningkatkan penyuluhan agar penduduk, terutama laki-laki dewasa, yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV mau menjalani tes HIV secara sukarela.
Penduduk yang dianjurkan tes HIV adalah:
(a). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di Kota Solo, di luar Kota Solo, atau di luar negeri.
(b)Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti tanpa kondom di Kota Solo, di luar Kota Solo, atau di luar negeri.
(c). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek cafe’, ’cewek pub’, ’cewek panti pijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’, ’pelacur kelas tinggi’, ’call girl’, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di Kota Solo, di luar Kota Solo, atau di luar negeri.
Penanggulangan HIV/AIDS selalu diabaikan. Buktinya, dalam peraturan walikota (perwalkot) No 4A Tahun 2008 tangal 15 Mei 2008 tentang penanggulangan AIDS tidak ada pasal-pasal yang konkret terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/05/28/menyibak-peraturan-walikota-surakarta-tentang-penanggulangan-hiv-dan-aids/).
Jika UTD PMI hanya memakai rapid test atau ELISA dalam skrining HIV pada darah donor, maka tetapa risiko darah yang mengandung HIV lolos dari skrining. Ini terjadi jika donor menyumbangkan darah pada masa jendela yaitu tertular HIV di bawah tiga bulan dihitung saat mendonorkan darah (Lihat Gambar 2).
Jika darah donor yang diskrining ada pada masa jendela maka hasil skrining bisa negatif palsu. Artinya, HIV sudah ada di dalam darah tapi tidak terdeteksi karena belum ada antibody HIV. Tes HIV dengan rapid test dan ELISA mendeteksi antibody HIV di dalam darah.
Terkait dengan risiko itulah kemudian Malaysia menerapkan standar baku dalam transfusi darah dari ISO (International Organization for Standardization) yang bermarkas di Jenewa, Swis. Ini mereka lakukan karena pemerintah negeri jiran itu pernah digugat 100 juta ringgit oleh seorang penduduk yang tertular HIV melalui transfusi darah (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/05/05/hak-bebas-hiv-melalui-transfusi-darah/).
Jika UTD PMI hanya melakukan skrining tes HIV pada darah donor dengan rapid test atau ELISA, maka risiko tertular HIV dari transfusi darah tetap ada. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H