[caption id="attachment_163190" align="aligncenter" width="620" caption="ILUSTRASI - Petugas menyemprot kandang unggas setelah muncul kasus kematian unggas akibat flu burung. (KOMPAS.com)"][/caption]
“Indonesia tak perlu khawatirkan flu burung.” Itulah judul berita di www.bbc.co.uk (4/1-2012). Berita itu berupa keterangan Menteri Kesehatan, Endang Rahayu Sedyaningsih, dalam jumpa pers awal tahun.
Celakanya, beberapa hari setelah berita itu dilansir flu burung kembali memakan korban di Jakarta Utara (10/1-2012) yang menimpa PD (23), warga Sunter, Jakarta Utara.
Pernyatan Menkes itu menggambarkan realitas penanganan flu burung di Indonesia sebagai retorika (politis). Ketika flu burung terdeteksi di Indonesia tahun 2005 yang dilakukan pemerintah, waktu itu menteri pertanian, adalah memakan ayam goreng ramai-ramai di Monas, Jakarta Pusat.
Celakanya, wartawan begitu saja percaya kalau ayam goreng yang disantap menteri dan berbagai kalangan di ‘panggung sandiawara’ itu benar-benar daging ayam.
Kalau saja wartawan memakai paradigma terbalik dalam menanggapi ‘sandiwara’ itu tentulah wartawan pergi ke rumah menteri pertanian. Bertanya kepada pembantu atau mengikuti pembantu belanja ke pasar untuk memastikan apakah daging ayam masih tetap menjadi menu masakan di rumah menteri.
Terkait dengan ayam goreng yang disantap ramai-ramai di Monas tentulah akan lebih konkret kalau ayamnya dipotong di depan publik dan ayam itu dicomot acak di pasar ayam atau di peternakan ayam. Tapi, wartawan mau saja ‘dikelabui’.
‘Atraksi’ makan goreng ayam ramai-ramai di Monas dimaksudkan agar masyarakat tidak takut memakan masakan dengan menu daging ayam.
Tapi, apakah cara itu bisa menghentikan penyebaran virus flu burung?
Bandingkan dengan Malaysia yang menanggulangi flu burung dengan cara-cara yang konkret. Jika ada kasus flu burung di satu daerah, maka darah itu diisolir dari lalu lintas unggas. Selain itu pengawasan terhadap impor unggas pun sangat ketat di sana. Maka, tidak heran kalau kemudian flu burung reda di sana.
Sebaliknya, angka penderita dan kematian terkait flu burung di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia. Sejak dideteksi pertama kali tahun 2005 sampai akhir tahun 2011 sudah terdeteksi 182 kasus flu burung dengan 150 kematian.
Dikabarkan dalam berita bahwa prioritas kemenkes tahun 2012 adalah penanganan penyakit tidak menular dan peningkatan kualitas ruang perawatan rumah sakit khususnya kelas III.
Dalam berita juga disebutkan: Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), Tjandra Yoga Aditama, mengakui flu burung belum sepenuhnya hilang dari Indonesia. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian Indonesia merupakan negara endemis flu burung.
Flu burung adalah virus yang ditularkan unggas ke manusia. Celakanya, penduduk memelihara unggas, seperti ayam dan burung, di permukiman. Bahkan, ada ’budaya’ yang dijadikan alasan untuk memelihara unggas tertentu tanpa memikirkan dampak terhadap orang lain.
Selama penanggulangan flu burung tidak berpijak pada cara-cara yang konkret dan berkelanjutan, maka flu burung akan terus memakan korban. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H