Informasi yang akurat tentang penularan dan pencegahan HIV/AIDS sudah terbukti bisa menjadi ‘vaksin’. Tapi, mengapa insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, terus terjadi?
Ya, tentu saja penularan terus terjadi karena selama ini informasi yang disampaikan kepada masyarakat tidak akurat. Informasi tentang HIV/AIDS yang merupakan fakta medis dibalut dan dibumbui dengan moral sehingga menghilangkan fakta medis dan menyuburkan mitos (anggapan yang salah).
Di Kota Sorong, Prov Papua Barat, misalnya, perilaku laki-laki dewasa, terutama ‘hidung belang’, tidak tersentuh informasi yang akurat. Buktinya, tidak ada intervensi pemerintah lokal terhadap laki-laki ‘hidung belang’ agar memakai kondom ketika sanggama dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokasi pelacuran, tempat-tempat hiburan, penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang.
Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Sorong akan terus bertambah banyak.
Disebutkan oleh Wakil Ketua Komisi Penggulangan AIDS (KPA) Kota Sorong, dr.H.E. Sihombing, dari tahun 2004 sampai Juli 2011 pengidap HIV/AIDS di Kota Sorong, mencapai 1.127 (Pengidap AIDS di Kota Sorong Capai 1.127 Orang, www.jpnn.com, 14/9-2011).
Angka itu sendiri hanyalah yang terdeteksi. Soalnya, epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es karena banyak orang yang sudah tertular HIV tidak menyadarinya karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka serta tidak ada pula keluhan kesehatan yang khas AIDS. Mereka itulah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, tertuama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Kasus yang terdeteksi (1.127) digambarkan sebagai puncak gunung es yang mencuat ke atas permukaan air laut. Sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Gambar 1).
Dikabarkan faktor risiko (mode of transmission) terbesar adalah hubungan seksual yang tidak memakai kondom. Penularan melalui hubungan seksual di Kota Sorong lebih dari 90 persen. Bertolak dari data ini tentulah diperlukan intervensi agar laki-laki pelanggan PSK wajib memakai kondom setiap kali sanggama dengan PSK.
Sayang, dalam peraturan daerah (Perda) No 41 Tahun 2006 tanggal 12 Juli 2006 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS sama sekali tidak ada pasal yang konkret untuk menanggulangi IMS dan HIV/AIDS (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/06/12/aids-di-kota-sorong-papua-barat-lagi-lagi-dihitung-dengan-%E2%80%98rumus-telanjang%E2%80%99/).
Disebutkan pula HIV/AIDS patut mendapat perhatian yang sangat serius karena HIV/Aids sampai sekarang belum ada obatnya. Ini tidak akurat karena sudah ada obat antiretroviral (ARV) yang berguna untuk menekan laju penggandaan HIV di dalam darah.
Dikabarkan pula: “ .... memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang HIV/Aids sehingga dapat mengubah perilaku yang menyimpang yang rentan terjangkit HIV/Aids.”
Lagi-lagi pernyataan itu mitos. Tidak ada kaitan langsung antara ’perilaku menyimpang’ dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seksual (bisa) terjadi di dalam dan di luar nikah kalau salah satu atau kedua pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, kalau pasangan dua-duanya tidak mengidap HIV maka tidak ada risiko tertular HIV biar pun hubungan seksual dilakukan tanpa kondom di luar nikah.
Disebutkan pula sosialisasi diharapkan akan disebarluaskan oleh tokoh-tokoh agama untuk memberikan dorongan supaya masyarakat yang berperilaku menyimpang kembali kedalam norma-norma agama.
Pernyataan ini mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi terhadap orang-orang yang tertular HIV karena dikesankan mereka tertular HIV karena perilaku menyimpang.
Sungguh ironis dan merendahkan harkat dan martabat manusia karena ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya, orang-orang yang tertular melalui transfusi darah dan jarum suntik, serta bayi yang tertular HIV dari ibunya dikategorikan sebagai orang yang perilakunya menyimpang.
Disebutkan oleh Sihombing bahwa mendorong supaya masyarakat yang berperilaku menyimpang kembali kedalam norma-norma agama merupakan salah satu bentuk antisipasi untuk meredakan penularan HIV/Aids.
Pernyataan Sihombing itu jelas mitos dan tidak akurat karena penularan HIV bukan karena perilaku yang menyimpang. Kawin-cerai pun merupakan perilaku yang berisiko, padahal bukan perilaku menyimpang.
Selama penanggulangan HIV/AIDS di Kota Sorong dilakukan dengan mitos, maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi. Pemko Sorong tinggal menunggu ’panen AIDS’ karena kasus-kasus yang tidak terdeteksi akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H