Ketika informasi yang akurat tentang HIV/AIDS sudah banjir, ternyata tetap saja ada (wartawan) yang tidak memahami HIV/AIDS dengan komprehensif. Lihat saja lead berita ini: “Jumlah kematian orang akibat terjangkit human immunodeficiency virus dan acquired immune deficiency syndrome/acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS) di Batam, Kepulauan Riau, meningkat tajam.” (Korban HIV/AIDS di Batam Alami Lonjakan, www.mediaindonesia.com, 6/8-2011).
Kematian terkait HIV/AIDS bukan karena HIV atau AIDS, tapi karena penyakit-penyakit yang ada pada masa AIDS (secara statitistik setelah tertular HIV antara 5-15 tahun), seperti diare, sariawan, ruam, jamur, TB, dll. Pada orang yang tidak mengidap HIV penyakit-penyakit ini mudah disembuhkan, tapi karena pada odha (orang dengan HIV/AIDS) sistem kekebalan tubuh sudah jelek maka penyakit-penyakit itu sulit disembuhkan sehingga mengakibatkan kematian.
Angka kematian yang ditonjolkan pada berita ini pun tidak bermakna karena tidak dibawa ke realitas sosial terkait dengan epidemi HIV.
Dengan kematian 31 tidak berarti kasus HIV/AIDS di Batam otomatis berkurang 31.
Pertama, pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga angka atau jumlah kasus akan terus bertambah biar pun banyak penderita yang meninggal.
Kedua, 31 odha yang meninggal itu sudah tertular HIV antara 5 – 15 tahun sebelumnya. Maka, pada kurun waktu itu mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah (Lihat Gambar).
[caption id="attachment_123134" align="aligncenter" width="404" caption="Penyebaran HIV terkait dg kematian di Batam"][/caption]
Ketiga, bertolak dari 31 kasus itu saja sudah banyak penduduk yang berisiko tertular HIV. Andaikan yang 31 itu mempunyai satu pasangan, seperti istri atau suami, maka sudah ada 31 lagi penduduk Batam yang berisiko tertular HIV.
Keempat, jika ada di antara 31 kasus itu pekerja seks komersial (PSK), maka kian banyak lagi kasus HIV/AIDS di Batam karena seorang PSK meladeni rata-rata 3 laki-laki setiap malam.
Nah, realitas sosial itulah yang tidak dijabarkan oleh wartawan yang menulis berita ini sehingga jumlah kematian itu hanya bagaikan angka belaka (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/07/09/kematian-terkait-aids-di-kota-batam/).
Menurut Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Kota Batam, Pieter P Pureklolong, banyak faktor yang membuat jumlah penderita di Batam terus meningkat dari tahun ke tahun, namun hubungan seksual dengan pekerja seks komersial menjadi faktor utama penyebaran HIV/AIDS di Batam.
Yang tidak masuk akal adalah biar pun sudah diketahui faktor risiko (mode of transmission) yaitu hubungan seksual tanpa kondom, tapi sama sekali tidak ada langkah konkret yang dilakukan oleh Pemkot Batam untuk menanggulangi penyebaran HIV melalui hubungan seksual. Perda AIDS Prov Kepulauan Riau pun hanya mengedepankan moral dan agama sebagai ‘senjata’ untuk menanggulangi HIV/AIDS. Akibatanya, pasal-pasal dalam perda itu hanya normatif (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/11/24/menakar-efektivitas-perda-aids-provinsi-kepulauan-riau/).
Masih menurut Pureklolong: "Menjamurnya tempat prostitusi di Batam memang menimbulkan dampak yang signifikan terhadap peningkatan penderita HIV/AIDS baru."
Pernyataan itu merupakan salah satu penyangkalan yang menjadikan pelacuran sebagai ‘kambing hitam’. Padahal, risiko tertular HIV di pelacuran terkait dengan perilaku laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak mau memakai kondom jika sanggama dengan PSK.
Di negara yang tidak ada pelacuran dan hiburan malam pun tetap ada kasus HIV/AIDS. Arab Saudi, misalnya, sudah melaporkan lebih dari 15.000 kasus AIDS. Ini baru yang dilaporkan dan hanya AIDS tidak termasuk kasus HIV+ (yang kelak juga akan masuk masa AIDS). Mengapa hal ini bisa terjadi? Ya, bisa saja. Laki-laki Arab Saudi tertular di luar negaranya. Yang tertular akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di negaranya.
Biar pun di Batam tempat prostitusi ’menjamur’ kalau laki-laki Batam tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK tentu tidak ada risiko bagi penduduk Batam tertular HIV melalui PSK.
Batam sendiri diibaratkan sebagai ’pintu masuk’ penyebaran HIV ke berbagai daerah karena PSK yang terdeteksi HIV di Batam dikembalikan ke daerah asalnya (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/07/batam-bisa-jadi-%E2%80%9Dpintu-masuk%E2%80%9D-epidemi-hivaids-nasional/).
Tapi tanpa disadari oleh pemerintah di sana laki-laki penduduk lokal yang menularkan HIV kepada PSK dan yang tertular HIV dari PSK tetap menjadi mata rantai penyebaran HIV di Batam. Fakta inilah yang luput dari perhatian.
Kalau saja Perda AIDS Kepri dirancang dengan berpijak pada fakta medis, maka yang muncul adalah pasal-pasal yang konkret untuk menanggulangi AIDS.
Misalnya, mewajibkan setiap laki-laki dewasa memakai kondom jika melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti, pelaku kawin-cerai atau dengan PSK di Batam atau di luar Batam.
Bisa juga menjalankan program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki ’hidung belang’ di lokalisasi pelacuran. Tapi, di Batam tidak ada lokalisasi pelacuran yang merupakan hasil regulasi sehingga program itu tidak bisa dijalankan.
Praktek-praktek pelacuran di sembarang tempat, termasuk di hotel berbintang, akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di Batam jika pelacuran tidak dilokalisir. Dikabarkan penyebaran HIV di Batam terjadi melalui kegiatan pelacuran (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/01/19/penyebaran-hivaids-di-batam-kep-riau/).
Dampak buruk dari pelacuran yang tidak dilokalisir sehingga tidak bisa diterapkan peraturan ’wajib kondom’ dapat dilihat dari kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga. Disebutkan oleh Pureklolong: "Di Batam sudah ditemukan wanita hamil yang terjangkit HIV/AIDS. Beberapa orang tua mengetahui dirinya terjangkit saat melahirkan anaknya yang juga telah positif HIV/AIDS."
Celakanya, suami ibu-ibu yang terdeteksi HIV itu tidak dikonseling sehingga mereka terus menyebarkan HIV.
Kondisi penyebaran HIV dari suami ke istri kian runyam karena di Batam tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS pada perempuan hamil.
Jika Pemkot Batam tetap tidak menjalankan program penanggulangan HIV/AIDS yang konkret, maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi. Tinggal menunggu ’ledakan AIDS’. Kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H