Kasus kumulatif HIV/AIDS di Bali dilaporkan 4.552. Angka ini pun menyentak banyak kalangan. Sayangnya, yang disorot hanya pekerja seks komersial (PSK) sebagai ‘kambing hitam’. Disebutkan faktor risiko (mode of transmission) adalah hubungan seksual (WTS Menyebar ke Mana-mana. Tinggi, Kasus HIV/AIDS di Bali, Bali Post, 25/8-2011).
Lihat saja pernyataan ini: ”Tingginya kasus HIV/AIDS ini tidak terlepas dari banyaknya tempat prostitusi yang tersembunyi di sejumlah tempat. Kondisi ini sangat sulit untuk memantau keberadaan penghuni yang ada di lokasi prostitusi tersebut.”
Ada beberapa hal yang luput dari perhatian tentang penyebaranterkait dengan PSK dan prostitusi.
Pertama, yang menularkan atau menyebarkan HIV kepada PSK pada prostitusi justru laki-laki dewasa penduduk lokal, asli atau pendatang. Kondisi ini dibuktikan dengan kasus temuan HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga. Ibu-ibu tertular HIV dari suaminya.
Kedua, PSK yang beroperasi di Bali sudah mengidap HIV sebelum praktek di Bali. Kondisi ini pun membuka risiko bagi laki-laki ‘hidung belang’ penduduk Bali, asli atau pendatang, tertular HIV jika mereka tidak memakai kondom ketika sanggama dengan PSK.
Ketiga, yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di Bali adalah: (a) laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK, dan (b) laki-laki yang tertular HIV dari PSK.
Nah, jika Pemprov Bali ingin memutus mata rantai penyebaran HIV maka perlu ada intervensi yang konkret yaitu mewajibkan laki-laki ’hidung belang’ memakai kondom jika sanggama dengan PSK. Sayang, semua peraturan daerah (perda) AIDS yang ada di Bali tidak menusuk ke akar persoalan karena dibalut dengan moral.
Belakangan ada wacana untuk melokalisir pelacuran. Upaya melokalisir pelacuran ini menjadi isu sensitif di Indonesia karena dianggap melegalkan pelacuran (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/08/19/pelacuran-diregulasi-bukan-dilegalisasi/).
Tapi, tidak jelas langkah konkret yang akan diterapkan di lokalisasi pelacuran terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS. Dalam berita disebutkan: “ .... bila dilokalisasi, proses pemeriksaan terhadap para penjaja seks komersial tersebut bisa dilakukan secara rutin.”
Biar pun PSK diperiksa secara rutin tidak otomatis memutus mata rantai penyebaran HIV karena: (a) laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK, dan (b) laki-laki yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.
Kalau saja Pemprov Bali mau belajar ke Thailand tentulah langkah penanggulangan akan konkret. Di Thailand germo atau mucikari diberikan izin usaha sebagai bentuk regulasi pelacuran. Izin itu pulalah yang dipegang pemerintah sebagai senjata untuk menindak germo.
Di setiap lokalisasi pelacuran dan rumah bordir laki-laki ‘hidung belang’ wajib memakai kondom jika sanggama dengan PSK. Di sana program itu disebut ‘wajib kondom 100 persen’. Secara rutin PSK menjalani tes IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, klamidia, virus hepatitis B, dll.). Kalau ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS, maka germo ditindak karena membiarkan PSK meladeni laki-laki tanpa kondom.
Keberhasilan Thailand menurunkan insiden infeksi HIV baru di kalangan laki-laki dewasa justru tidak dilihat dengan cermat. Buktinya, Ketua Komisi D DPRD Denpasar, I Wayan Sugiarta, didampingi Sekretaris Komisi A.A. Putu Wibawa, mengatakan cukup sulit untuk mengontrol siapa yang masuk ke lokasi prostitusi. Terlebih, semua lokasi seperti itu di Denpasar tidak jelas.
Yang menjadi ’sasaran tembak’ dalam wacana itu justru laki-laki yang masuk ke pelacuran. Tentu saja ini tidak komprehensif karena mengindentifikasi laki-laki yang masuk ke lokalisasi pelacuran merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM). Soalnya, lokalisasi adalah ranah publik.
Tampaknya, banyak kalangan di Bali yang mulai panik karena kasus demi kasus terus terdeteksi. Bahkan, ada yang khawatir Bali bisa jadi ’pulau AIDS’ (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/05/25/selamatkan-p-bali-agar-tidak-jadi-%E2%80%98pulau-aids%E2%80%99/).
Satu hal luput dari perhatian adalah perilaku laki-laki dewasa yang menjadi pelanggan PSK. Mereka melacur tidak hanya di Bali, tapi bisa saja di luar Bali atau di luar negeri. Maka, ada atau tidak ada pelacuran di Bali, lokalisasi atau terselubung, mereka akan tetap mencari PSK.
Disebutkan: ”Berbeda dengan Denpasar, keberadaan perempuan penjaja daging mentah di Bangli nyaris sulit terdeteksi.”
Pernyataan yang menyebutkan ’perempuan penjaja daging mentah’ merupakan bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap harkat dan martabat manusia. Ini juga merupakan sikap yang diskriminatif dan bias gender. Lalu, apa pula sebutan untuk laki-laki ’hidung belang’? (Lihat: http://bahasa.kompasiana.com/2010/08/06/pemakaian-kata-dalam-materi-kie-aids-yang-merendahkan-harkat-dan-martabat-manusia/).
Yang jelas ada ada tidak ada (lokalisasi) pelacuran semua tergantung kepada laki-laki. Di negara yang tidak ada pelacuran pun tetap saja ada laporan kasus AIDS. Lihat saja Arab Saudi yang sudah melaporkan lebih dari 15.000 kasus AIDS.
Selama penanggulangan HIV/AIDS terus dibalut dengan moral, maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi. Maka, tidak mustahil Pulau Bali yang dikenal sebagai ’Pulau Dewata’ itu bisa menjadi ’pulau AIDS’.
Maka, untuk mencegah agar tidak menjadi ’pulau AIDS’ perlu dilakukan langkah yang konkret bukan lagi dengan bumbu moral. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H