“Jumlah penderita HIV/AIDS di Jateng setiap tahun cenderung mengalami peningkatan. Tercatat, 500 orang meninggal akibat terinfeksi virus mematikan tersebut.”Ini lead berita “HIV/AIDS bunuh 500 warga Jateng” (solopos.com, 8/8-2011).
Dari satu alinea di atas saja ada beberapa pernyataan yang tidak akurat.
Pertama, pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga angka pada laporan akan terus bertambah biar pun banyak yang meninggal.
Kedua, kematian pada odha (orang dengan HIV/AIDS) bukan karena HIV atau AIDS, tapi karena penyakit-penyakit yang muncul pada masa AIDS (terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV), disebut infeksi oportunistik seperti diare, TB, dll. Penyakit inilah yang menyebabkan kematian pada odha.
Ketiga, sebagai virus HIV tidak mematikan karena HIV hanya menggandakan diri pada sel-sel darah putih manusia.
Pernyataan yang tidak akurat itu menunjukkan pemahaman wartawan yang tidak komprehensif terkait HIV/AIDS sebagai fakta medis. Bisa juga karena wartawan memakai moralitasnya dirinya sendiri ketika menulis berita terkait AIDS sehingga yang muncul hanya asumsi bukan fakta.
Menurut Kasi Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan (Dinkes) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jateng, dr Puji Lestari, penyebaran virus tersebut lanjut antara lain melalui hubungan seks bebas dengan berganti-ganti pasangan dan pemakaian jarum suntik secara bersama terutama pengguna Narkoba.
Risiko tertular HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (di luar nikah, seks pranikah, ‘seks bebas’, zina, melacur, seks anal, seks oral, homoseksual, ganti-ganti pasangan, dll.), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom).
Pernyataan yang merupakan informasi HIV/AIDS yang tidak akurat tsb. menyesatkan sehingga masyarakat tidak bisa mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang realistis.
Dikabarkan sampai 2010 jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Jateng tercatat 3.336 dengan 500 kematian. Sedangkan estimasi (perkiraan) kasus HIV/AIDS di Jateng mencapai 10.800.
Sayang, angka 500 tidak bermakna karena tidak dibawa ke realitas sosial terkait epidemi HIV. Kematian pada odha terjadi pada masa AIDS yaitu setelah tertular antara 5-15 tahun. Karena pada rentang waktu antara tertular sampai masa AIDS tidak menunjukkan gejala sehingga yang mengidap HIV/AIDS tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV, maka mereka pun menularkan HIV kepada orang lian tanpa mereka sadari.
Jika ada di antara yang meninggal itu mempunyai istri maka jumlah orang yang berisiko pun bertambah. Angka akan bertambah banyak kalau ada di antara yang meninggal itu pekerja seks komersial (PSK). Soalnya, setiap malam seorang PSK rata-rata meladeni tiga laki-laki ‘hidung belang’.
Menurut Puji jumlah kasus yang sedikit karena kurangnya kesadaran dari orang yang berisiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS melakukan pemeriksaan VCT (voluntary counseling testing).
Kondisi di atas terjadi karena selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) terkait HIV/AIDS selalu dibumbui dengan moral sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Akibatnya, masyarakat tidak menyadari perilakunya berisiko tertular HIV. Lihat saja kasus di Medan, Sumut, seorang laki-laki tertular HIV padahal dia tidak melakukan hubungan seksual secara berganti-ganti (Lihat:
Di Jawa Tengah sendiri sudah ada ...peraturan daerah (perda) penanggulangan AIDS, tapi perda-perda itu ‘mandul’ karena tidak menyentuh akar persoalan.
Peraturan Wali Kota Surakarta No 4A Tahun 2008 yang diterbitkan tanggal 15 Mei 2008, misalnya, tidak ‘jalan’ karena hanya menawarkan pasal-pasal yang normatif (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/05/28/menyibak-peraturan-walikota-surakarta-tentang-penanggulangan-hiv-dan-aids/).
Kemudian ada Perda AIDS Prov Jawa Tengah No 5 Tahun 2009 tanggal 24 April 2009 yang juga ‘mandul’ (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2011/02/13/perda-aids-prov-jawa-tengah-mengabaikan-risiko-penularan-hiv-di-lokasi-pelacuran/).
Berikutnya Perda AIDS Kab Semarang No 3 Tahun 2010 tanggal 23 Maret 2010 juga tidak bisa menanggulangi AIDS (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/01/28/mitos-di-perda-aids-kab-semarang-jawa-tengah/).
Intervensi yang bisa dilakukan al. adalah program pencegahan HIV melalui ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki ‘hidung belang’ pada hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuaran dan rumah bordir.
Celakanya, lokasi dan lokalisasi pelacuran di Jawa Tengah dibasmi sehingga praktek pelacuran terjadi di berbagai tempat yang tidak bisa dijangkau.
Penyebaran HIV di masyarakat malalui laki-laki ‘hidung belang’ dapat dilihat dari kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga.
Jika penanggulangan HIV/AIDS di Jateng tidak dilakukan dengan cara-cara yang konkret, maka penyebaran HIV akan terus terjadi. Pemprov kelak tinggal menuai bencana karena kasus-kasus yang tidak terdeteksi akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H