Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Setiap Malam 1.494 Laki-laki ‘Hidung Belang’ di Manado Berisiko Tertular HIV/AIDS

10 Agustus 2011   12:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:55 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jumlah pekerja seks komersial (PSK) di Manado, Sulut, yang mencapai 498 ternyata tidak membuat Pemkot Manado melakukan langkah yang konkret untuk memutus mata rantai penyebaran HIV dari laki-laki ‘hidung belang’ penduduk lokal, asli atau pendatang, ke PSK dan sebaliknya.

Dikabarkan ada 498 PSK yang dicatat oleh Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Daerah (KPAD) Kota Manado (Pekerja Seks. Ada 498 Wanita Pekerja Seks di Manado, Tribun Manado, 10/8-2011).

PSK ini ’praktek’ di berbagai tempat di Kota Manado karena tidak ada lokalisasi pelacuran di sana. Agaknya, ada kesalahan persepsi di Indonesia. Jika di satu daerah tidak ada lokalisasi maka daerah itu dianggap bersih dari pelacuran. Seperti yang terjadi di Manado ini. Biar pun tidak ada lokalisasi pelacuran ternyata ada 498 PSK yang beroperasi setiap malam di sana.

Hal yang sama juga terjadi di Kota Tangerang, Banten. Pemkot Tangerang bangga sekali mempunyai peraturan daerah (Perda) anti pelacuran. Tapi, ada seorang penjangkau yang mendampingi PSK dan warita di kota itu, mengatakan setiap malam ada 100 PSK dan waria yang beroperasi di berbagai tempat.

Kesalahan lain terkait dengan pelacuran adalah ada anggapan kalau dilokalisir berarti melegalkan pelacuran. Ini salah karena melokalisir bukan melegalkan tapi membuat regulasi atau diatur agar program pencegahan penyakit bisa diterapkan secara akurat. Jika PSK tidak dilokalisir maka program penanggulangan IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, virus hepatitis B, klamidia, dll.) serta HIV tidak bisa dilakukan. Akibatnya, IMS dan HIV menyebar di masyarakat yang dapat dibuktikan dengan kasus-kasus IMS dan HIV pada ibu-ibu rumah tangga.

Menurut Sonny Winda, anggota KPAD Manado, WPS terdiri atas 2 bagian yaitu WPS langsung dan tidak langsung. "WPS langsung adalah pekerja seks (pelacur) sedangkan WPS tidak langsung ada wanita-wanita yang bekerja atau pengunjung tetap tempat-tempat hiburan seperti pub dan cafe."

Sonny tidak akurat. PSK tidak langsung pun adalah pelacur, bahkan ’istri-istri’ atau ’perempuan baik-baik: istri atau janda’ yang jadi selingkuhan sebagai WIL (wanita idaman lain) juga pelacur.

Dan semua mereka merupakan orang-orang yang berisiko tertular dan menularkan HIV karena melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam atau di luar nikah. Risiko terjadi jika laki-laki tidak memakai kondom sejak awal sanggama sampai ejakulasi.

Menurut Sonny, selain pemeriksaan kesehatan, setiap minggu kami rutin membagikan kondom dan rutin mengecek pengunaan kondom itu secara profesional.

Sayang, dalam berita tidak ada penjelasan tentang ’secara profesional’ dalam melakukan cek penggunaan kondom seperti yang disebutkan Sonny.

Kalau saja KPAD Manado mau melihat program ’wajib kondom 100 persen’ di Thailand yang menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK, tentulah ada cara yang konkret.

Celakanya, peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS yang ditelurkan Pemprov Sulut pun tidak menawarkan cara-cara penanggulangan yang konkret (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/24/menguji-peran-perda-hivaids-prov-sulawesi-utara/).

Thailand menjalankan pemantuan dengan survailans rutin IMS terhadap PSK. Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS maka germo akan menerima sanksi mulai dari peringatan sampai pencabuatan izin usaha.

Celakanya, di Manado tidak ada lokalisasi pelacuran sehingga germo tidak memiliki izin usaha.

Kalau KPAD Manado hanya ’memaksa’ PSK agar menolak laki-laki ’hidung belang’ yang tidak memakai kondom, maka cara ini jelas bias gender dan tidak adil. Soalnya, posisi tawar PSK sangat lemah. Laki-laki ’hidung belang’ akan memakai tangan germo atau mami untuk memaksa PSK meladeninya tanpa kondom.

Tanpa intervensi yang mempunyai kekuatan hukum maka penerapan ’wajib kondom’ tidak akan efektif. Bayangkan, jika setiap malam 1 PSK langsung atau PSK tidak langsung melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan 3 laki-laki, maka setiap malam ada 1.404 laki-laki ’hidung belang’ di Manado yang berisiko tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus.

Pemkot Manado tinggal menunggu ’ledakan AIDS’ karena penyebaran HIV (akan) terus terjadi jika tidak ada intervensi yang konkret. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun