Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kondom ‘Berserakan’ di Taman Kota Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta

31 Juli 2011   02:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:13 3633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ternyata stigma (cap buruk) terhadap kondom terus bergulir. Kondom selalu dilihat dari sisi buruk. Seperti yang terjadi di Wonosari, Kab Gunung Kidul, DI Yogyakarta, in. Dikabarkan: ” Bupati Gunung Kidul Badingah berang karena taman kota Wonosari yang seharusnya menjadi lokasi wisata di  kawasan kota, kini justru menjadi tempat mesum.” (Taman Kota Wonosari. Kondom Berserakan, Bupati Berang, kompas.com, 13/7-2011).

Terlepas dari sifat hubungan seksual pemakaian kondom pada laki-laki merupakan bentuk tanggung jawab laki-laki terkait dengan upaya mencegah kehamilan tidak diinginkan (KTD) dan penularan IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, virus hepatitis B, klamidia, dll.) serta HIV.

Di Kab Bantul, misalnya, jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Bantul meningkat sampai awal 2011 tercatat 251 terdiri atas 174 HIV dan 77 AIDS (http://medicine.uii.ac.id/index.php/Berita/Penanggulangan-HIV-Aids-Tanggungjawab-Semua-Pihak.html). Penanggulangan HIV/AIDS sendiri di Kab Bantul ambiguitas (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/01/24/ambiguitas-penanggulangan-aids-di-kab-bantul-yogyakarta/).

Sedangkan di Kab Gunung Kidul sudah dilaporkan 11 kasus HIV/AIDS per Januari 2011 (tribunnews.com).

Dalam berita tidak dijelaskan seperti apa ’kondom yang berserakan’ di taman kota itu. Seberapa banyak, apakah setiap malam, dst. Berita ini membawa pembaca dengan kesan kondom menutupi permukaan taman kota itu. Kalau saja wartawan menggambar seberapa banyak kondom yang berserakan tentulah pembaca mendapat gambaran yang realistis.

Dengan menyebutkan berserakan terkesan semua orang yang mengunjungi taman kota itu memakai kondom kemudian membuangnya di taman sehingga berserakan.

Menurut Badingah, dia memergoki sendiri pasangan muda-mudi yang tengah berbuat mesum di taman kota itu.

Tapi, apakah ’berbuat mesum’ otomatis melakukan hubungan seksual?

Jika memang terjadi hubungan seksual, seperti apa rimbun pepohonan dan penerangan di taman itu sehingga mereka leluasa melakukan hubungan seksual di alam terbuka.

Masih menurut Badingah: "Saya dekati, justru mereka malah lari. Ini sangat memalukan. Bahkan di lokasi tersebut (taman kota) ditemukan banyak kondom berserakan."

Sayang, Bupati tidak menggambarkan seperti apa serakan kondom di tamat itu ketika dia mendekati pasangan yang ’berbuat mesum’ itu. Ya, lagi-lagi wartawan pun hanya mengutip pernyataan Bupati tanpa melihat fakta (empiris) tentang kondom yang berserakan itu.

Sebagai perbandingan terkait dengan pelacuran di Kab Bantul sudah diterbitkan peraturan daerah (Perda) tentang larangan pelacuran di wilayah Kab Bantul yaitu Perda No 5/2007 tanggal 1 Mei 2007. Perda ini berbaju moral sehingga pasal-pasal yang muncul pun hanya bersifat normatif.

Pada pasal 3 ayat (1) disebutkan: ” Setiap orang dilarang melakukan pelacuran di wilayah Daerah.”, dan di ayat (2) disebutkan: ”Setiap orang dilarang menjadi mucikari di wilayah Daerah.”

Bagaimana cara yang ditempuh Pemkab Bantul mengawasi agar setiap orang tidak melakukan pelacuran di Bantul?

Karena berbaju moral kesan yang ada di pasal itu adalah larangan untuk melakukan (praktek) pelacuran di lokasi atau lokalisasi yang kasat mata. Perda ini untuk ’menembak’ kegiatan pelacuran yang kasat mata, tapi dibalut dengan eufemisme sehingga tidak muncul realitas sosial terkait pelacuran di Bantul.

Biar pun di Bantul tidak ada lokasi atau lokalisasi pelacuran, apakah Pemkab Bantul bisa menjamin bahwa di wilayah Kab Bantul sama sekali tidak ada (praktek) pelacuran?

Jika Pemkab Bantul tidak bisa menjamin bahwa di wilayah Kab Bantul tidak ada (praktek) pelacuran, maka penyebaran IMS dan HIV akan menjadi persoalan besar bagi daerah ini.

Biar pun kasus HIV/AIDS yang dilaporkan kecil, itu tidak menggambarkan kasus riil di masyarakat. Kasus HIV/AIDS akan banyak kalau ada laki-laki dewasa penduduk Kab Bantul yang menjadi pelanggan PSK di wilayah Bantul atau di luar Bantul.

Kasus-kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga menunjukkan bahwa suami mereka tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan lain.

Laki-laki yang menularkan HIV kepada istrinya akan menjadi mata rantai penyebaran HIV. Kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi kelak akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun