Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Kota Dumai, Riau: Salon ‘Menularkan’ HIV/AIDS

29 Juli 2011   22:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:15 1091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

”Dinas Kesehatan Kota Dumai, Prov Riau, menyatakan bahwa salon atau penyedia jasa pemotongan rambut merupakan salah satu tempat rawan penyebaran HIV/AIDS setelah lokalisasi atau tempat penyedia layanan seks.” (Dinkes: Salon Rawan Penyebaran HIV/AIDS, kompas.com, 22/7-2011).

Lead berita ini membuat kecemasan dan ketakutan. Belum ada laporan kasus HIV/AIDS yang tertular melalui alat-alat kecantikan di salon.

Apakah di Dumai sudah ada kasus penularan HIV melalui alat-alat kecantikan?

Disebutkan oleh Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Dumai, Marjoko Santoso: ”.... jika pisau cukur yang membawa darah penderita itu melukai kulit kepala orang lain, maka rentan terjadi penularan. Untuk itu, kata dia, "kecelakaan kecil" berupa luka akibat tersayat pisau cukur perlu diwaspadai.”

Hal itu sangat naif karena di salon tidak kecantikan jarang dipakai pisau cukur. Kalau pun ada alat-alat kecantikan yang menggores kulit dan berdarah, maka darah itu akan mengering. Sedangkan HIV akan mati di udara terbuka.

Apakah Marjoko ’menembak’ salon yang menyediakan layanan seks?

Kalau memang di Dumai ada ’salon plus-plus’ (menyediakan layanan seks), maka ’tembak’ saja langsung tidak perlu mengalihkannya ke alat-alat kecantikan. Menyebutkan salon sebagai tempat berisiko menimbulkan keresahan.

Disebutkan: ” .....HIVdan AIDS merupakan virus yang dapat menyebar atau menjangkit tubuh manusia melalui zat cair, seperti darah dan sperma.”

Pernyataan itu tidak akurat karena tidak semua cairan tubuh mengandung HIV dalam jumlah (konsentrasi) yang dapat ditularkan, seperti air liur, keringat dan air kencing.

Cairan tubuh orang yang mengidap HIV/AIDS yang mengandung HIV dalam jumlah yang dapat ditularkan adalah: cairan darah, air mani (dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagina, dan air susu ibu (ASI).

Disebutkan lagi: ” .... meningkatkan kewaspadaan terhadap tempat-tempat rawan, seperti lokalisasi atau tempat penyedia layanan seks, termasuk juga salon atau penyedia jasa pemotongan rambut.”

HIV/AIDS tidak terdapat secara bebas di berbagai tempat karena HIV hanya ada di dalam beberapa cairan tubuh. Yang rawan bukan tempat, tapi perilaku seksual oang per orang.

Masih menurut Marjoko: ” .... Bagi yang melayani tamu, mereka sebaiknya memeriksakan diri secara rutin atau setiap tiga bulan sekali." Ini ’kan hanya menembak pekerja seks komersial (PSK), padahal yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki penduduk lokal atau pendatang. Lalu, ada pula laki-laki yang tertular dari PSK. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Ada lagi pernyataan: "Kita sendiri bahkan bisa jadi tidak pernah tahu sedang atau telah mengidap HIV/AIDS, lalu menularkannya kepada orang lain dengan cara yang sebenarnya sepele." Pernyataan ini juga menyesatkan karena penularan HIV sangat khas dan penularannya tidak semudah penyakit lain.

Karena risiko penularan HIV melalui alat-alat kecantikan sangat kecil, maka yang perlu ditangani secara konkret oleh Dinkes Dumai adalah penularan melalui transmisi seksual. Marjoko mengalihkan isu dari pelacuran ke salon.

Selain mengalihkan ke cara-cara yang ’bermoral’ epidemi HIV di Kota Dumai pun menjadikan ’tempat maksiat’ sebagai kambing hitam. Padahal, yang menjadi persoalan bukan ’tempat maksiat’ tapi perilaku laki-laki dewasa penduduk Dumai (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/05/28/aids-di-dumai-riau-%E2%80%98tempat-maksiat%E2%80%99-jadi-%E2%80%98kambing-hitam%E2%80%99/).

Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga di Kota Dumai menunjukkan perilaku seksual suami mereka. Itu membuktikan suami mereka melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan lain, al. PSK (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/03/30/aids-pada-ibu-hamil-di-kota-dumai-riau-suami-mereka-menjadi-mata-rantai-penyebaran-hiv/).

Pemprov Riau sendiri sudah menelurkan peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS, tapi karena perda itu bermuatan moral maka pasal-pasal dalam perda itu pun hanya normatif (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/03/30/menyibak-peran-perda-aids-riau-dalam-penanggulangan-aids-riau/).

Yang mendesak dilakukan Dinkes Dumai adalah memutus mata rantai penyebaran HIV dari laki-laki dewasa penduduk lokal ke PSK dan sebaliknya, baik di lokalisasi pelacuran, tempat hiburan malam, atau ’tempat-tempat maksiat’ dengan membuat regulasi yang mewajibkan laki-laki ’hidung belang’ memakai kondom setiap kali sanggama dengan PSK.

Jika penanggulangan tidak dilakukan dengan cara-cara yang konkret, maka penyebaran HIV di Kota Dumai akan terus terjadi. Hasilnya kelak adalah ’ledakan AIDS’.***[Syaiful W. Harahap]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun