Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

AIDS di Sulawesi Selatan Menyebar Melalui Hubungan Seksual

24 Juli 2011   06:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:25 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

”Perilaku seks bebas menjadi penyebab utama tingginya kasus HIV/AIDS di Sulawesi Selatan yang mencapai 3.918 penderita di 2010.” Ini lead pada berita3.918 Terjangkit HIV/AIDS Akibat Seks Bebas di Sulsel” (www.berita8.com, 20/07-2011).

Celakanya, dalam berita tidak jelas apa yang dimaksud dengan ’seks bebas’. Kalau ’seks bebas’ diartikan sebagai hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK), maka pernyataan itu menghujat ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suami mereka. Itulah dampak buruk dari pengaitan istilah ’seks bebas’ dengan penularan HIV (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/07/23/%E2%80%98seks-bebas%E2%80%99-mengaburkan-cara-penularan-hiv/).

Satu hal yang luput dari perhatian terkait dengan penyebaran HIV adalah hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK tidak langsung. Di Sulsel dikabarkan PSK tidak langsung, seperti cewek-cewek pengguna narkoba, yang mendorong penyebaran HIV (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/18/aids-di-sulawesi-selatan-didorong-psk-tidak-langsung/).

Menurut Kepala Bagian Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS Biro Napza dan HIV/AIDS Sulsel, Muhammad Nuhrahim: "Bila tahun lalu 58,6 persen penyebaran HIV/AIDS disebabkan oleh jarum suntik dan narkorba, maka tahun ini dari data diketahui penyebarannya sudah berubah yakni melalui hubungan seksual dengan persentase mencapai 60 persen lebih."

Ada kemungkinan tahun lalu banyak pengguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) yang mengikuti rehabilitasi. Mereka wajib menjalani tes HIV. Sedangkan tahun ini mungkin pengguna narkoba tidak banyak yang masuk ke rehabilitasi. Sebaliknya, penduduk yang tertular melalui hubungan seksual mulai mendatangi puskesmas, rumah sakit atau klinik VCT. Sebagian karena mereka sakit, dan sebagian lagi hasil penyuluhan dan penjangkauan.

Nuhrahim mengatakan: ” .... kasus yang terdata itu bisa jadi hanya data permukaan saja, sementara di lapangan banyak penderita yang tidak mau melaporkan dirinya.” Ini tidak akurat karena semua yang sudah terdeteksi HIV pasti akan ’melaporkan’ diri karena ada fasilitas pendampingan dan obat ARV.

Yang terjadi adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya tertular HIV karena selama ini informasi HIV/AIDS yang disebarluaskan tidak akurat.

Masih menurut Nuhrahim: ”Penderita di Sulsel dihantui rasa malu untuk melapor bila ada indikasi terjangkit virus HIV. Padahal, bila dilaporkan lebih cepat, maka si penderita bisa diberikan pertolongan.”

Pernyataan itu tidak akurat karena yang terjadi justru banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka. Itulah sebabnya penyebaran HIV terus terjadi karena orang-orang yang belum terdeteksi tapi sudah mengidap HIV menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Dengan kondisi ini, Nuhrahim mengharapkan pemerintah kabupaten/kota menjadikan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS sebagai program prioritas.

Sayang, Nuhrahim tidak menjelaskan langkah konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS. Memang, di Sulsel tidak ada langkah konkret yang dilakukan untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.

Bahkan, perda-perda AIDS yang ada di Sulsel, yaitu: (1) Kab Bulukumba (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/27/menguji-peran-perda-aids-bulukumba-sulawesi-selatan/), (2) Kab Luwu Timur (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/28/menyibak-peran-perda-aids-kabupaten-luwu-timur-sulawesi-selatan/), dan (3) Prov Sulsel (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/08/22/menyibak-peran-perda-aids-provinsi-sulawesi-selatan/), sama sekali tidak memberikan langkah atau cara yang konkret dalam menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.

Saat ini praktek pelacuran terus terjadi di berbagai tempat secara ’tertutup’, seperti di Jalan Nusantara di seberang pelabuhan Soekarno-Hatta, Makassar, yang dikenal sebagai ’jalan vagina raya’ dan tempat-tempat lain.

Selama pelacuran tidak dilokalisir, maka selama ini pula penyebaran HIV akan terjadi karena program pencegahan melalui penggunaan kondom tidak bisa diterapkan secara konkret.

Salah satu langkah yang bisa dilakukan Pemprov Sulsel dan pemerintah kabupaten dan kota di Sulsel adalah membuat regulasi untuk melokalisir pelacuran. Di lokalisasi bisa diterapkan program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki ’hidung belang’ yang melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Program tsb. sudah diterapkan di Thailand dan menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa. Cara ini memutus mata rantai penularan HIV dari penduduk ke PSK, dari PSK ke penduduk dan yang paling penting adalah tidak ada penyebaran HIV dari suami-suami yang menjadi pelanggan PSK kepada istrinya. Selanjutnya tidak ada lagi penularan HIV dari ibu ke anah yang dikandungnya.

Celakanya, perda-perda AIDS yang ada di Sulsel sama sekali tidak menawarkan cara-cara konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS. Jika pemprov, pemkab dan pemkot di Sulsel tidak menanggulangi penyebaran HIV dengan cara-cara yang konkret, maka penyebaran HIV akan terus terjadi dan tinggal menunggu ’ledakan AIDS’. ***

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun