Matahari mulai memancarkan sinar jelang senja melalui celah-celah daun di Jalan Jend A. Yani di ujung Jalan Malioboro, Yogyakarta. Di trotoar di depan Gedung Agung tiga laki-laki mengayunkan sapu lidi membersihkan sampah yang berserakan.
“Wah, kalau hari Minggu atau hari libur sampah di sini bisa tiga gerobak bahkan lebih, Pak,” kata Deni, 24 tahun, salah seorang karyawan kebersihan sebuah perusahan sambil mengayunkan sapu lidinya. Sesekali dia menggelengkan kepala sambil melihat tumpukan sampah. Ada kesan seakan-akan dia tidak percaya hal itu bisa terjadi di kota seperti Yogyakarta.
Deni dan kawan-kawannya mulai mengayunkan sapu lidi sejak pukul 03.00 mulai dari Kepatihan sampai ujung Malioboro yang dikenal sebagai ‘titik nol’. Seperti hari itu sudah pukul 06.30 pekerjaan mereka belum selesai karena musim libur (awal Juli 2011) sehingga banyak pengunjung yang nongkrong di sana.
Tentu saja Deni patut kecewa karena Yogyakarta dikenal sebagai ‘kota pelajar’ yang di benaknya tentulah orang-orang berpendidikan. Tapi, itulah yang terjadi. Memang, di sekitar sampah tsb. tidak ada tempat pembuangan sampah. ”Ah, dipasang pun hilang lagi,” kata Deni.
Kabarnya, tong sampah di sana dirusak oleh orang-orang yang berada di bawah pengaruh minuman beralkohol. Ini tentu beralasan karena yang ‘waras’ tentulah tidak akan merusak fasilitas umum, apalagi tempat sampah.
Perilaku itu terjadi karena tidak ada tempat sampah. Pengunjung kawasan itu pun menjadikan trotoar dan pot bunga sebagai ‘tempat sampah’. Maka, Pemkot Yogyakarta harus tetap mengganti tong sampah yang rusak.
Sampah tidak hanya berserakan di trotoar, tapi juga di balik pagar Monumen Serangan Oemun 1 Maret di sisi timur Jalan Malioboro. Memang, di trotoar mulai dari Pasar Bringharjo sampai monumen tadi relatif lebih bersih jika dibandingkan dengan trotoar di sepanjang Gedung Agung. Tapi, di balik pagar monumen dan benteng sampah berserakan.
Memang, Pemkot Yogyakarta tidak mungkin menempatkan petugas, misalnya, pegawai Satpol PP, di sana khusus untuk mengawasi pengunjung yang menghabiskan malam di kawasan itu.
Namun, Pemkot Yogyakarta bisa memasang CCTV di sana agar yang membuang sampah bisa dikenali. Mereka diberikan hukuman sosial yaitu membersihkan kawasan itu beberapa hari dengan memakai kaos bertuliskan: Saya dihukum karena membuang sampah sembarangan! Tapi, mereka diberikan uang saku.
Agaknya, ‘hukuman sosial’ lebih mengena agar tidak ada lagi yang ringan tangan membuang sampah. <>
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H