Kecelakaan transportasi di air (sungai, danau dan laut) di Indonesia terus terjadi dan memakan korban yang tidak sedikit. Dua hari lalu sebuah perahu terbalik di Sungai Bengawan Solo, di daerah Kab Bojonegoro, Jawa Timur. Laporan terakhir menyebutkan 10 korban tewas. Mengapa banyak korban kecelakaan di air?
Salah satu kecelakaan di air yang memakan banyak korban adalah peristiwa KMP Tampomas II yang tenggelam di perairan Masalembo (27/1-1981). Dilaporkan 431 korban tewas. Tahun-tahun berikutnya kecelakaan di air terus terjadi. Banyak korban tewas karena meloncat ke laut tanpa memakai pelampung.
Ketika mendengar berita tentang perahu penyebarangan yang tenggelam di Sungai Bengawan Solo saya teringat pada peristiwa serupa di Waduk Saguling, 40 km arah barat Kota Bandung, Jawa Barat, setelah beroperasi sejak tahun 1986. Waktu itu saya ditugaskan membuat laporan tentang kecelakaan beruntun yang sering terjadi dan memakan korban nyawa di waduk itu.
Pengamatan di lapangan menunjukkan perahu penyebarangan tidak dilengkapi dengan pelampung. Di beberapa perahu disediakan satu atau dua ban dalam ukuran ban mobil. Jika perahu tenggelam maka tidak ada pelampung. Kecepatan tenggelam lebih tinggi di air waduk daripada di laut karena berat jenis air tawar yang lebih kecil daripada air laut.
Mesin yang dipakai pun bukan diesel, tapi motor yang biasa dipakai untuk memarut kelapa. Padahal, untuk alat transportasi di air diperlukan mesin yang bisa stabil sehingga yang pas adalah diesel.
Yang tidak masuk akal adalah keterangan aparat di Saguling tentang (penyebab) kecelakaan perahu motor yang memakain korban jiwa.
”Oh, mereka yang salah (maksudnya pemilik perahu-pen.) karena melewati daerah latihan militer.” Di salah satu sisi waduk ada pusat latihan militer.
Apakah perahu itu tenggelam karena kena tembak?
“Ya, tidak.”
Komentar aparat keamanan di Saguling menunjukkan pemahaman mereka yang sangat rendah terkait dengan (keamanan) transportasi air (tawar).
Saya mewawancarai psikolog untuk mendapatkan gambaran terkait dengan kecelakaan yang terjadi karena kecerobohan manusia itu, yaitu (alm) Sartono Mukadis. Waktu itu dia mengatakan bahwa ada kesalahan yang sangat mendasar pada sikap penduduk di sekitar waduk yaitu membuat menganalogikan ‘angkutan darat’ ke ‘angkutan air’.
Pengalaman mereka sehari-hari, sebelum ada waduk, kalau kendaraan umum, seperti bus atau truk, kelebihan muatan maka yang terjadi ban kempes atau pecah. Jika ini terjadi penumpang disuruh turun. Ban diganti. Kendaraan jalan lagi. Bisa juga pernya patah. Penumpang ganti kendaraan. Nah, ini merupakan ‘budaya darat’.
Itulah kesan yang ada di benak mereka sehingga mereka tidak pernah memikirkan risiko yang akan timbul jika perahu, boat atau kapal tenggelam karena kelebihan muatan.
Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian perahu, kapal motor, atau kapal laut yang kelebihan muatan tidak diprotes penumpang. Mereka pun tidak mencari tahu tentang pelampung. Bahkan, calon penumpang sering mengamuk jika dilarang berlayar karena cuaca atau kelebihan muatan.
Korban kecelakaan transportasi air selalu banyak karena penumpang tidak membekali diri dengan pelampung. Bahkan, banyak penumpang yang tidak mengetahui tempat pelampung dan cara memakainya.
Untuk mengubah perilaku masyarakat yang sudah terbiasa dengan ‘budaya darat’ beralih ke ‘budaya air’, menurut Sartono, diperlukan pendidikan. Celakanya, masyarakat di sekitar Saguling tidak pernah dididik untuk memahami kareakteristik dan sifat-sifat transportasi air.
Jika ada pembangunan waduk atau kanal yang akan dimanfaatkan sebagai sarana transportasi air perlu dibuat aturan agar ada dana khusus untuk mendidik masyarakat sekitar tentang perubahan moda transportasi mereka.
Pendidikan merupakan sosialisasi keselamatan transportasi air. Ini dilakukan agar masyarakat memahami alat-alat keselamatan yang harus ada di perahu, kapal layar, kapal kayu, dan kapal laut yang beroperasi di sungai, danau dan laut. Selain itu mereka pun mengetahui haknya ketika memakai transportasi air. Sebaliknya, pemilik alat transpor pun mengetahui kewajibannya untuk keselamatan penumpang.
Radio sebagai alat komunikasi sebagai standar juga sering tidak ada di alat transportasi laut. Secara internasional ada anjuran agar setiap tiga jam yaitu pukul: 24.00, 03.00, 06.00, 09.00, 12.00, 15.00, 18.00 dan 21.00 setiap alat transportasi laut saling kontak dengan memberitahu identitas dan lokasi. Ini memudahkan jika terjadi kecelakaan.
Apakah perahu, kapal layar, kapal motor dan kapal luat di Indonesia selalu menjalankan anjuran itu?
Sudah saatnya pendidikan tentang moda-moda transportasi menjadi materi dalam jenjang pendidikan formal di Indonesia untuk menekan korban kecelakaan. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H