Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

’Daerah Rawan AIDS’ di Kota Tangerang Selatan, Banten

15 April 2011   02:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:47 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai virus HIV tidak terdapat di alam bebas sehingga tidak ada tempat atau daerah yang rawan penularan HIV. Sedangkan AIDS bukan penyakit sehingga tidak akan pernah menular. Celakanya, informasi dasar ini pun banyak orang, bahkan pejabat di bidang kesehatan, yang tidak memahaminya.

Akibatnya, muncullah pernyataan-pernyataan yang berbau mitos (anggapan yang salah) karena tidak berpijak pada fakta medis tentang HIV/AIDS. Lihat saja pernyataan dalam berita ini: ” Empat kecamatan di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) rawan penularan penyakit HIV AIDS. Keempat kecamatan tersebut adalah Ciputat, Pondok Aren, Pamulang, dan Serpong.” (Empat Daerah di Tangsel Rawan HIV/AIDS, koran.republika.co.id, 13/4-2011).

Sayang, dalam berita sama sekali tidak ada penjelasan mengapa empat kecamatan itu ’rawan HIV/AIDS’. Kerawanan terhadap HIV tergantung pada perilaku berisiko orang per orang di mana saja dan kapan saja.

Tingkat risiko tertular HIV melalui hubungan seksual (bisa) terjadi jika seseorang pernah atau sering melakukan perilaku berisiko yaitu: hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek pemijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG;, dll.). Di Sulawesi Selatan penyebaran HIV didorong oleh PSK tidak langsung (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/18/aids-di-sulawesi-selatan-didorong-psk-tidak-langsung/).

Tri Utami, Kepala Bidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Lingkungan (P2PL), Dinkes Kota Tangsel, mengatakan: "Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Tangsel menunjukkan tahun 2007 hingga 2011 teridentifikasi 54 pengidap HIV dan sembilan kasus AIDS." Yang perlu diingat adalah angka-angka ini hanya kasus yang terdeteksi. Epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi hanya bagian kecil (puncak gunung es yang ada di atas permukaan air laut) dari kasus yang ada di masyarakat (bongkahan es di bawah permukaan air laut). (Lihat Gambar 1).

[caption id="attachment_101801" align="alignnone" width="428" caption="Gambar 1. Fenomena Gunung Es pada Epidemi HIV"][/caption]

Jika bertolak dari sembilan kasus AIDS yang ada di Tangsel maka penularan HIV pada sembilan kasus ini terjadi antara tahun1996 dan 2006. Soalnya, masa AIDS terjadi pada diri seseorang yang sudah tertular HIV antara 5 dan 15 tahun (Lihat Gambar 2).

[caption id="attachment_101802" align="alignnone" width="322" caption="Gambar 2. Penularan HIV pada Kasus AIDS di Kota Tangsel"]

1302835702757588275
1302835702757588275
[/caption] Disebutkan: ”Dinkes Kota Tangsel melakukan tindakan tanggap HIV/AIDS melalui pembentukan Pusat Pelayanan Terapi Matadon (P2TM). Lokasinya di Ciputat. Program Penanganan Penderita HIV AIDS menjadi program unggulan dalam rencana kerja Dinkes 2011.” Ini adalah bentuk penanggulangan di hilir. Artinya, menunggu penduduk tertular HIV dulu baru ditangani. Itu pun hanya bagi yang terdeteksi. Sedangkan yang tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal tanpa mereka sadari.

Disebutkan pula Ida Lidya, Sekretaris Dinkes Kota Tangsel, mengatakan pihaknya telah berkoordinasi dengan seluruh rumah sakit di Kota Tangsel. Ya, lagi-lagi ini merupakan penanggulangan di hilir.

Dinkes melalui P2PL telah menyiapkan anggaran sebesar Rp 200 juta untuk penanganan HIV/AIDS di Kota Tangsel untuk sosialisasi ke seluruh kecamatan, seminar, dan kegiatan penanggulangan masalah HIV/AIDS di kalangan pelajar dan rumah tangga (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/03/26/aids-di-kota-tangerang-selatan-banten-remaja-dituding-sebagai-%E2%80%99biang-keladi%E2%80%99/).

Data kasus HIV/AIDS menunjukkansudah 1.970 ibu rumah tangga di Indonesia yang terdeteksi mengidap HIV. Mereka tertular dari suaminya. Sayang, sasaran sosialisasi di Tangsel tidak menyentuh laki-laki dewasa.

Santoso Edi Budiono, anggota Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Prov Banten, mengatakan: "Kota ini memiliki letak strategis, berbatasan langsung dengan kota besar, seperti DKI Jakarta, Depok, dan Kabupaten Tangerang sehingga penyebarannya juga cepat." Ini pernyataan yang naif karena sama saja dengan Jakarta, Depok dan Kab Tangerang: Mereka juga akan mengatakan hal yang sama.

Tidak ada kaitan langsung penularan HIV dan letak geografis. Penyebaran HIV tergantung pada perilaku orang per orang Negara-negara yang sangat tertutu pun, seperti Arab Saudi, tetap menghadapi penyebaran HIV/AIDS. Negeri yang memakai Alquran sebagai UUD itu sudah melaporkan 15.000 lebih kasus AIDS.

Persaoalanya adalah: Apakah Pemkot Tangsel atau KPA Prov Banten bias menjamin tidak ada laki-laki dewasa penduduk Tangsel dan Banten yang melakukan perilaku berisiko di Banten atau di luar Banten?

Kalau jawabannya BISA, maka tidak ada masalah penyebaran HIV dengan faktor risiko (mode of transmission) hubungan seksual.

Tapi, kalau jawabannya TIDAK BISA, maka ada penyebaran HIV melalui hubungan seksual. Salah satu buktinya adalah kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga.

Menurut Edi, data nasional menyebutkan sebanyak 90 persen penderita HIV AIDS berada dalam skala usia produktif, yaitu 15 - 29 tahun. Data ini tidak akurat karena laporan Ditjen PPM & PL Kemenkes RI tanggal 14/1-2011 menunjukan kasus AIDS padausia 15 – 29 tahun adalah 12.186 dari 24.131 semua kasus. Ini artinya 50,5 persen.

Disebutkan Edi lagi: "Sebanyak 51,3 persen penularannya melalui hubungan heteroseksual atau berganti-ganti pasangan." Tidak semua heteroseksual dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti, seperti kasus pada ibu-ibu rumah tangga mereka tidak berganti-ganti pasangan.

Menurut Tri Utami Hal: "Dahulu penyebaran utama HIV AIDS melalui jarum suntik. Namun, dua tahun terakhir melalui hubungan seksual." Ada fakta yang luput dari data ini yaitu kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi di kalangan pengguna nakoba dengan suntikan karena mereka wajib menjalani tes HIV ketika hendak mengikuti program rehabilitasi.

Sebaliknya, yang tertular melalui hubungan seksual banyak yang terdeteksi ketika mereka menderita penyakit yang sulit sembuh sehingga mereka berobat ke rumah sakit. Kondisi ini sudah pada masa AIDS.

Jika Pemkot Tangsel tidak menanggulangi epidemi HIV dengan cara yang konkret, maka kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun