Untuk melindungi warganya dari penyakit berbahaya, Pemkot Jayapura terus melakukan berbagai upaya. Setelah tiga bulan lalu melakukan pemeriksaan, dalam waktu dekat ini, Pemkot akan kembali melakukan pemeriksaan kesehatan, khususnya terhadap para pekerja tempat hiburan bar, karaoke dan panti pijat. (Dinkes Agendakan Pemeriksaan Kesehatan Pekerja Hiburan Malam, Cenderawasih Pos, 13/7-2011).
Ada beberapa hal yang luput dari pernyataandi atas.
Pertama, jika yang dimaksud ‘penyakit berbahaya’ adalah HIV/AIDS, maka Pemkot Jayapura tidak bisa melindungi warga karena penularan HIV terkait dengan perilaku seksual orang per orang. Yang bisa dilakukan oleh Pemkot Jayapura adalah memutus mata rantai penyebaran HIV dari masyarakat (dalam hal ini laki-laki dewasa) ke pekerja seks komersial (PSK) dan dari PSK ke masyarakat (dalam hal ini laki-laki dewasa) melalui program ‘wajib kondom 100 persen’ pada hubungan seksual dengan PSK.
Program tsb. sudah berhasil di Thailand yang ditunjukkan dengan penurunan kasus infeksi HIV baru di kalangan laki-laki dewasa. Tapi, program itu tidak akan bisa diterapkan di Kota Jayapura karena tidak ada lokalisasi yang merupakan regulasi pelacuran sehingga tidak ada germo yang memiliki izin usaha. Bahkan, peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS Kota Jayapura tidak konsisten. Di satu pihak ada ‘program’ kondom, tapi di pihak lain disebutkan tidak boleh ada kegiatan pelacuran (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/23/ironi-penanggulangan-aids-di-perda-aids-kota-jayapura-papua/).
Regulasi pelacuran dengan izin usaha bagi germo diperlukan untuk pemberian sanksi. Secara rutin dilakukan survailans tes IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, hepatitis B, dll.) terhadap PSK. Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS maka itu membuktikan PSK tsb. meladeni laki-laki tanpa kondom. Germo diberikan teguran sampai pencabutan izin usaha.
Nah, di Merauke, Papua, yang ‘dikirim’ ke bui oleh KPA setempat justru PSK yang terdeteksi mengidap IMS. Kebijakan itu justru membebani keuangan negara karena PSK itu akan ‘menginap’ gratis di hotel prodeo selama enam bulan. Di sisi lain ‘posisi’ PSK tadi digantikan oleh PSK lain.
Di sisi lain lagi laki-laki yang menularkan IMS kepada PSK dan laki-laki yang tertular IMS dari PSK justru terus menularkan IMS, bahkan sekaligus juga HIV jika mereka tertular HIV, di masyarakat (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/05/31/aids-di-merauke-papua-psk-digiring-ke-bui-pelanggan-suami-menyebarkan-hiv-ke-istri/).
Kedua, disebutkan ’pekerja tempat hiburan bar, karaoke dan panti pijat’. Ini tidak jelas karena tidak semua pekerja melakukan perilaku berisiko atau hubungan seksual, seperti kasir, dll. Lagi-lagi terjadi pembelokan fakta agar terkesan di Jayapura tidak ada (praktek) pelacuran.
Ketiga, jika yang dimaksud ’pemeriksaan kesehatan’ terhadap ’pekerja tempat hiburan bar, karaoke dan panti pijat’ adalah penyakit terkait dengan IMS maka ada fakta yang luput. Yaitu:(a) IMS pada PSK itu kemungkinan ditularkan oleh laki-laki dewasa penduduk asli lokal atau pendatang, atau (b) PSK itu sudah mengidap IMS ketika mulai ’beroperasi’ di Jayapura.
Dalam kaitan (a) dan (b) dalam kehidupan sehari-hari laki-laki tsb. bisa sebagai seorang suami yang kemudian menjadi mata rantai penyebaran IMS, bahkan sekaligus HIV jika mereka juga tertular HIV, di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Buktinya dapat dilihat dari kasus IMS dan HIV di kalangan ibu-ibu rumah tangga.
Kepala Bidang Penanggulangan Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Jayapura, Petronela Anitu, SKM, MM, mengatakan: “Dalam waktu dekat ini, kami akan kembali turun ke lapangan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap pekerja di tempat hiburan.”
Celakanya, sebelum dilakukan pemeriksaan sudah banyak laki-laki lokal yang tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus dari PSK. Maka, biar pun PSK yang terdeteksi mengidap IMS diobati hal itu tidak ada manfaatnya karena laki-laki yang mengidap IMS akan menulari mereka kembali karena tidak ada program wajib kondom pada hubungan seksual dengan PSK yang komprehensif di Jayapura.
Menurut Petronela: “Kami salut dengan salah satu tempat hiburan yang mengenakan biaya tambahan bagi pelanggan yang enggan menggunakan kondom.”
Kebijakan itu justru menjadi bumerang karena laki-laki yang berduit tidak memakai kondom sehingga ada risiko menularkan atau tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus.
Lagi pula, bagaimana mekanisme yang dilakukan tempat hiburan itu memantau pemakaian kondom bagi laki-laki yang tidak mau membayar biaya tambahan? Bisa saja terjadi laki-laki tsb. mengatakan akan memakai kondom, tapi ketika sanggama dia justru tidak memakai kondom. Pengalaman PSK di ’Sarkem’ (lokasi pelacuran di Yogyakarta) menunjukkan sering terjadi sebelum ’ngamar’ lakai-lakai mengatakan akan memakai kondom, tapi ketika hendak sanggama laki-laki menolak memakai kondom (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/06/11/duka-derita-psk-di-%E2%80%98sarkem%E2%80%99-yogyakarta/).
Apakah biaya tambahan untuk tidak memakai kondom sebanding dengan dampak buruk penyebaran IMS dan HIV akibat ulah laki-laki yang tidak memakai kondom pada sanggama dengan PSK?
Lalu, untuk keperluan apa biaya tambahan tsb.? Apakah biaya tambahan itu disetor ke kas pemerintah daerah sebagai dana penanggulangan IMS atau HIV/AIDS?
Lagi-lagi kebijakan yang tidak komprehensif sehingga mendorong penyebaran IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus. Pemkot Jayapura tinggal menunggu ledakan kasus IMS dan AIDS. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H