* Sifon salah satu pintu masuk infeksi IMS dan HIV
Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) di Prov Nusa Tenggara Timur (NTT) menelurkan Peraturan Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan, No 3 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS tanggal 14 April 2009. Perda ini merupakan perda yang ke-31 dari 46 perda yang ada di Indonesia.
Untuk tingkat provinsi sendiri Pemprov NTT sudah menelerukan Perda No 3 Tahun 2007 yang merupakan Perda ke-17 di Indonesia. Tapi, seperti halnya perda-perda yang ada perda ini pun tidak bisa mengendalikan penyebaran HIV karena hanya mengandalkan moral (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/22/mengukur-peran-perda-penanggulangan-aids-ntt/).
Di pasal 1 ayat 18 disebtukan: Pencegahan adalah upaya-upaya agar seseorang tidak tertular HIV/AIDS dan tidak menularkannya kepada orang lain, dan di ayat 19 disebutkanPenanggulanganadalah upaya-upaya menekan laju penularan HIV/AIDS.
Sedangkan di Pasal 3 disebutkan: Pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS bertujuan untuk menghindari mengurangi penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup ODHA serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat.
Celakanya, dalam Perda ini sama sekali tidak ada cara-cara yang konkret untuk mencegah penularan HIV.
Di pasal 9 ayat 3 disebutkan: Penanggulangan HIV dan AIDS terintegrasi dengan nilai-nilai agama, moral dan sosial budaya.
HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya, HIV/AIDS bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara penularan dan pencegahan pun dapat diketahui secara empiris. Maka, pencegahan pun dapat dilkukan secara medis.
Maka, tidak jelas penanggulangan macam apa yang harus diintegrasikan dengan nilai-nilai agama, moral dan sosial budaya Kab TTS.
Pada bagian penjelasan disebutkan ada aktor-faktor penyebab potensi penyebaran HIV dan AIDS di Kab Timor Tengah Selatan di antaranya adalah:
1. Faktor geografis, yaitu letaknya yang diapit oleh Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Utara serta Belu yang merupakan jalur lintas Negara Timor Leste-Kupang (Ibu Kota Prov Nusa Tenggara Timur)
2. Faktor ekonomi, di mana tingkat pendapatan perkapita masih rendah sehingga berpotensi terjadinya praktek prostitusi terselubung.
3. Meningkatnya jumlah PSK.
4. Meningkatnya penyalahgunaan NAPZA dengan jarum suntik.
5. Faktor budaya yaitu adanya praktek sifon pada sunat tradisional.
Tanggapan untuk point 1. Risiko seseorang tertular HIV tidak ada kaitannya secara langsung dengan letak geografis karena tergantung kepada perilaku seksual orang per orang. Pemkab Kupang dan Pemkab TTU juga akan mengatakan potensi penyebaran HIV/AIDS di daerah mereka karena letak geografis dekat dengan TTS.
Tanggapan untuk point 2. Praktek prostitusi bisa menjadi faktor pendorong risiko penularan HIV jika tidak daa kewajiban memakai kondom bagi laki-laki ‘hidung belang’ ketika sanggama dengan pekerja seks komersial (PSK).
Tanggapan untuk point 3. Ada atau tidak ada PSK di TTS tidak ada kaitan langsung dengan risiko penduduk tertular HIV karena bisa saja penduduk TTS melacur di luar daerah atau di luar negeri.
Tanggapan untuk point 4. Risiko penularan HIV melalui penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) terjadi jika narkoba dipakai dengan jarum suntik secara bergantian.
Tanggapan untuk point 5. Praktek sifon berisiko tertular HIV jika laki-laki tidak memakai kondom. Di pasal 1 ayat 17 disebutkan: Sifon adalah usaha memecahkan kaulili (benjolan atau lepuhan) di sekitar penis akibat sunat tradisonal melalui hubungan seksual dengan beberapa perempuan.
Untuk mencegah penularan HIV pada praktek sifon yang perlu dilakukan adalah mewajibkan laki-laki memakai kondom. Sayang, dalam perda ini tidak ada pasal yang mengatur kewajiban memakai kondom pada praktek sifon. Yang ada di pasal 14 ayat 2 huruf b hanya keterangan tentang SATGAS Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS tingkat Kecamatan mempunyai tugas menginformasikan kepada KPAD tentang adanya kegiatan-kegiatan yang berpotensi penularanHIV dan AIDS seperti praktek prostitusi/pelacuran terselubung, kegiatan sunat tradisional dan sifon yang terjadi dalam wilayahnya.
Pasal 14 ayat 3 huruf b disebutkan: SATGAS Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS tingkat Desa dan Kelurahan mempunyai tugas menginformasikan kepada KPAD tentang adanya kegiatan-kegiatan yang berpotensi penularanHIV dan AIDS seperti praktek prostitusi/pelacuran terselubung, kegiatan sunat tradisional dan sifon yang terjadi dalam wilayahnya.
Pasal 23 ayat 2 disebutkan: Setiap orang yang bersetubuh dengan seseorang padahal diketahui atau patut diduga bahwa dirinya dan/atau pasangannya mengidap HIV wajib melindungi diri dan/atau pasangannya dengan menggunakan kondom atau menerapkan seks yang aman.
Pasal23 ayat 1 disebutkan: Setiap orang yang telah mengetahui dirinya telah terinfeksi HIV wajib mencegah orang lain terpapar langsung dengan cairan darah, cairan sperma dan cairanvaginanya.
Fakta menunjukkan lebih dari 90 persen insiden penularanHIV justru terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang sudah mengidap HIV tidak menyadarinya. Maka, pasal 23 ayat 1 itu tidak menyentuh akar persoalan terkait dengan penyebaran HIV, terutama secara horizontal melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Pasal 14 ayat 3 huruf c disebutkan: SATGAS Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS tingkat Desa dan Kelurahan mempunyai tugas memprakarsai pembentukan Peraturan Desa tentang larangan sifon. Selanjutnya di pasal 24 ayat 5 disebutkan: Setiap orang yang menggunakan jasa sunat tradisional maupun sunat sehat dilarang melakukan sifon.
Sifon adalah budaya sehingga merupakan bagian dari kehidupan masyarakat di tatanan sosial. Maka, budaya ini tidak bisa dilarang karena akan menimbulkan friksi sosial. Yang bisa dilakukan adalah memberikan cara menjalankan sifon yang tidak berisiko tertular IMS dan HIV/AIDS, yaitu memakai kondom. Celakanya, dalam perda ini sama sekali tidak ada cara yang konkret untuk mencegah penularan IMS dan HIV melalui sifon.
Pasal-pasal dalam perda ini hanya di awang-awang karena memakai ‘bahasa dewa’ yang tidak membumi bahkan mendorong stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS).
Di bagian peran serta masyarakat, misanya, di pasal 19 ayat 1 disebutkan:Dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS masyarakat turut bertanggung jawab dengan cara: (a) Berperilaku hidup sehat, dan (b) Meningkatkan Ketahanan Keluarga dengan cara setia kepada pasangannya.
Tidak dijelaskan apa ukuran atau takaran perilaku hidup sehat yang bisa mencegah dan menanggulangi penularan HIV. Lalu, siapa pula yang berkompeten mengukur atau menakar perilaku seseorang sehingga bisa mencegah penularan HIV. Pasal 19 ayat 1 huruf a akan mendorong masyarakat melakukan stigma terhadap orang-orang yang tertular HIV karena dianggap perilakunya tidak sehat.
Begitu pula dengan pasal 19 ayat 1 huruf b juga tidak akurat karena apa ukuran dan takaran ketahanan keluarga yang bisa mencegah penularan HIV. Ini juga mendorong masyarakat memberikan stigma dan diskriminasi terhadap Odha karena mereka dianggap tidak mempunyai ketahanan keluarga sehingga tertular HIV.
Di pasal 24 ayat 6 disebutkan: “Setiap hotel dan sarana penginapan lainnya dilarang menyediakan atau mengijinkan praktek prostitusi/pelacuran.”
Padahal, Thailand berhasil menurunkan insiden penularan HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran. Maka, akan lebih efektif dalam menanggulangi penyebaran HIV kalau penginapan, losmen, motel dan hotel diwajibkan menerapkan program ‘wajib kondom 100 persen’.
Praktek pelacuran yang tidak dilokalisir akan sulit dipantau karena PSK yang bekerja di sana juga tidak bisa dilihat dengan kasat mata. Mereka dikenal sebagai PSK tidak langsung, al. ‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll. Mereka melayani laki-laki ‘hidung belang’ melalui kontak telepon, kurir, sopir taksi, atau karyawan hotel, dll.
Karena tidak ada pasal yang konkret untuk mencegah penularan HIV dan menaggulangi epidemi HIV/AIDS, maka penyebaran HIV akan terus terjadi di TTS. Pemkab TTS tinggal menunggu ‘panen AIDS’ karena kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi kelak akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H