Penyangkalan terkait dengan penyebaran HIV/AIDS masih saja terjadi. Di Kab Rembang, Jawa Tengah, misalnya, dua penduduk, laki-laki dan perempuan, yang terdeteksi HIV dikabarkan: ‘ …. . Kuat dugaan mereka tertular di luar Rembang karena dari pengakuannya baru sekira satu minggu berada di rumah dan mengalami sakit identik ciri-ciri khas pengidap HIV/AIDS ….’ (34 Dari 63 Penderita HIV/AIDS Di Kab Rembang Meninggal Dunia, wartamerdeka.com, 25/5-2011)
Epidemi HIV sudah menyentuh semua daerah di muka bumi ini sehingga tidak perlu lagi mempersoalkan di mana seseorang tertular HIV. Soalnya, dua penduduk Rembang tsb. tidak menjalani tes HIV sebelum pergi dari Rembang. Maka, bisa saja mereka tertular HIV di Rembang.
Menurut Kasi Informasi dan Komunikasi RSUD Dr R Sutrasno, Giri Saputra, klinik deteksi HIV/AIDS BLUD RSUD Dr R Sutrasno Rembang mengetes darah lima penduduk Rembang. Hasilnya, dua terdeteksi mengidap HIV. Tapi, perlu diingat adalah tiga yang terdeteksi negatif belum tentu negatif karena bisa saja ketika darah mereka diambil untuk tes HIV berada pada masa jendela (tertular HIV di bawah tiga bulan sehingga belum ada antibody HIV).
Maka, bisa saja tiga penduduk itu sebagai HIV-negatif palsu. Artinya, virus (HIV) sudah ada di dalam darah mereka, sehingga dari aspek epidemiologi mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat. Ini terjadi karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).
Dengan tambahan dua kasus baru, maka berdasarkan data di Komisi Pemberantasan AIDS Daerah (KPAD) Rembang sampai Mei 2001 kasus kumulatif HIV/AIDS menjadi 63, dengan perincian 17 HIV dan 46 AIDS, dengan 34 kematian.
Angka kematian itu pun seakan tidak ada kaitannya dengan epidemi HIV karena wartawan yang menulis berita ini tidak membawanya ke realitas sosial terkait dengan epidemi HIV. Kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) terjadi pada masa AIDS yaitu setelah mereka tertular HIV antara 5-15 tahun. Pada rentang waktu itulah mereka menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari.
Jika 34 Odha yang meninggal itu mempunyai pasangan, seperti istri, suami, pacar, selingkuhan, dll., maka jumlah penduduk Rembang yang berisiko tertular HIV pun bertambah banyak. Pasangan 34 Odha itu pun kemungkinan mempunyai pasangan lain sehingga penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk akan bertambah terus. Inilah mata rantai penyebaran HIV.
Tapi, karena pemberitaan hanya mengedepankan angka tanpa memberikan gambaran yang utuh tentang angka-angka itu maka masyarakat pun tidak melihat mata rantai penyebaran HIV yang bisa saja menyentuh mereka.
Dua kasus yang baru terdeteksi bekerja sebagai sopir dan pekerja seks komersial (PSK). Terkait dengan PSK ini ada dua kemungkinan:
Pertama, ada kemungkinan HIV pada PSK ini ditularkan oleh laki-laki ‘hidung belang’ penduduk Rembang, asli atau pendatang. Kalau ini yang terjadi maka penduduk Rembang yang menularkan HIV itu menjadi mata rantai penyebaran HIV. Kemudian ada pula laki-laki lain yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK tadi berisiko tertular HIV. Maka, laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan yang tertular HIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV.
Kedua, ada kemungkinan PSK itu sudah mengidap HIV ketika ‘praktek’ di wilayah Kab Rembang. Maka, laki-laki penduduk Rembang, asli atau pendatang, akan berisiko tertular HIV jika mereka tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK tadi. Mereka ini pun akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.
Realitas sosial inilah yang tidak dipahami banyak orang karena pada kegiatan ceramah, diskusi, serasehan, dll., termasuk berita di media massa sering tidak menyampaikan HIV/AIDS sebagai fakta medis tapi dibumbui dengan norma, moral dan agama. Akibatnya, banyak orang yang hanya menangkap mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS sehingga mereka berisiko tertular HIV.
Perda AIDS Prov Jawa Tengah pun tidak bisa mengendalikan penyebaran HIV karena tidak ada cara-cara pencegahan dan penanggulangan epidemi HIV yang konkret dalam perda itu (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2011/02/13/perda-aids-prov-jawa-tengah-mengabaikan-risiko-penularan-hiv-di-lokasi-pelacuran/).
Sudah saatnya Pemkab Rembang menanggulangi penyebaran HIV dengan cara-cara yang konkret agar tidak terjadi ‘ledakan AIDS’. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H